“Bu, Rinai hari ini masih sekolah, kan?” tanya Rinai sambil menyuap nasi berlauk pindang ikan rinuak kemulut.
Pindang Rinuak dibuat menggunakan kelapa parut dan cabe rawit giling, kedua bahan tersebut digunakan sebagai pencampur ikan kecil-kecil berkepala putih itu yang biasanya ada di musim baru tanam padi. Setelah semua bahan tercampur rata Aini membungkusnya dengan daun pisang, lalu dimasak di atas tungku dengan bara sabut kelapa. Rasanya akan lebih sedap jika Pindang ini kering dan sedikit hangus, bumbunya akan lengket dengan daun pisang, itu yang membuat aromanya lebih menggoda.
“Masih, kan ibu belum mengurus surat pindahmu,” jawabnya pelan.
Sebenarnya, Aini melihat ada yang aneh dengan tas sekolah Rinai, isinya lebih padat dan sesak dari pada hari biasa.
“Kamu bawa apa ke sekolah? Kok banyak sekali?” Rinai tertegun, kemudian menggeleng.
“Hanya kain salat dan alquran, Bu. Mau murajaah, bukannya Ibu sudah tahu kalau nanti aku ikut MTQ.”
Deg, jantung Aini seakan berhenti berdetak. Pasti Rinai sedih tidak bisa ikut lomba, karena besok mereka harus pergi meninggalkan semua kenangan yang pernah ada di kampung ini, kasihan Rinai gumamnya menahan pedih di hati.
Pukul tujuh tepat, sinar mentari mulai masuk melalui ventilasi dari jendela yang menghadap ke Timur. Rinai masih asyik mengunyah nasi, beberapa bulirnya menempel di dagu seperti biri-biri keluar kandang.
“Nasinya dikemas, Rinai. Masak anak perempuan makannya belepotan,” ujar Aini, Rinai tersenyum sambil membersihkan rimah nasi di dagunya.
Aini membalas senyum Rinai, dia sangat senang melihat sang anak menikmati makannya. Meskipun kadang Rinai tidak makan dengan lauk.
Seperti minggu kemarin Aini tidak punya uang membeli cabe, karena harganya sangat mahal. Sehingga Aini mencampur nasi Rinai dengan garam dan minyak kelapa. Rinai tetap makan dengan lahap, walau tidak ada ayam maupun ikan bersama nasi di piring.
“Mau ibu bungkuskan untuk bekal?” Rinai berhenti mengunyah sesaat, kemudian menggeleng.
“Tidak usah, Bu. Kasian etek Fatma, pasti sudah melebihkan lontong gulai paku untuk Rinai di sekolah.”
Aini maklum, Fatma memang sangat sayang kepada Rinai. Kadang di jam istirahat anaknya sering membantu Fatma mencuci piring dan gelas, atau mengambilkan pesanan anak-anak yang belanja di kantin.
Meskipun Rinai sering membantu Fatma di kantin, dia tidak ketinggalan pelajaran. Juara kelas bahkan juara umum sering dia raih. Semua guru sayang kepada Rinai, Bu Yuni guru matematika sering mencontohkan sikap Rinai kepada siswa lain saat upacara atau di dalam kelas.
Namun Rinai tidak besar hati dengan semua pujian, kata abaknya tidak boleh terlena oleh pujian.
“Jangan berbangga hati diberi pujian, di atas langit masih ada langit. Sebaik dan secerdas apa pun kita, pasti ada yang lebih. Selalulah bersyukur karena Allah memberikan kecerdasan dan kelembutan hati padamu. Sehingga banyak orang yang sayang. Tetaplah manyawuak di ilia-ilia, mangecek marandah-randah. Dek budi elok urang kan sayang.” (Mengambil air di hilir, jika ada yang lain di hulu. Berbicara merendah saja, karna kebaikan budi membuat semua orang sayang.
Aini menarik nafas, wajah Rinai yang manis mengobati kerinduannya pada Datuak Sati.
“Sudah Jam tujuh lewat, ayo berangkat! Nanti Kamu terlambat.” Aini menegur anaknya dengan penuh kasih sayang, karena Rinai paling anti mendengar kata-kata kasar, meskipun dia salah.
“Bentar lagi, Bu. Masih ada sisa nasi.”
“Ya, sudah. Kamu habiskan nasinya, ibu mau mencuci dulu. Nanti tolong pintunya ditutup ya.”
“Ibu ga mau melepas aku berangkat sekolah dulu? Kata Ayek Malin, senyum ibu disertai doa, berkah yang sangat mahal.”
Aini tertawa, lalu duduk lagi di sebelah Rinai menunggu anaknya selesai mencuci tangan.
“Sudah?” tanyanya pelan, karena Rinai belum juga beranjak dari tempat duduknya.
“Sudah. Ayo, Bu.”
“Ayo, ke mana?”
“Ke tangga. Temani aku!”
“Jangan katakan, kamu mau ditemani karena takut sama Piah.” Aini tertawa geli.