Bukan hanya pergantian waktu yang tidak bisa dihentikan. Pergerakan matahari ke porosnya juga tidak bisa direm oleh tangan manusia. Hanya saja, kehidupan Aini yang seakan disetop oleh Piah, hanya karena ingin mengusir dirinya dan Rinai dari rumah peninggalan Amak Baida, mertuanya yang sangat baik.
Menjelang pukul sepuluh, ketika sulur matahari mulai membakar seisi bumi, Aini meninggalkan rumah kediamannya setelah mengunci pintu dan jendela. Dia takut, kalau Piah yang terkenal cepat tangan, masuk ke dalam rumah lalu mengambil surat-surat penting peninggalan suaminya.
“Uni! Uni Aini!”
Baru saja kakinya menapak jalan di depan rumah yang masih pengerasan, Nusar menghentikan langkah perempuan berbaju kurung dan berkerudung lebar itu.
“Nusar?”
“Uni mau pergi ke mana? Tadi Piah mengusir uni lagi?” Wajahnya terlihat prihatin.
Aini hanya tersenyum tipis. Dia tidak mau membuat Nusar dan Piah bertengkar, hanya karena mengadukan tingkah adik iparnya itu.
“Mau mengurus surat pindah Rinai, Sar.”
“Memangnya uni mau naik apa ke kota kabupaten? Mobil tambangan sudah pada keluar.”
“Uni jalan saja dulu sampai ke batas kampung, nanti kalau ada tumpangan berangkat ke kabupaten.”
“Rinai sudah tau?”
“Ini mau ke sekolahnya dulu. Kan surat pindahnya mulai dari tingkat terendah?”
“Saya bisa antar Uni ke kota kabupaten. Tapi saya pinjam dulu motor Mak Danas.”
“Tidak usah, Sar. Nanti Piah malah menuduh yang tidak-tidak pula. Uni sekarang sudah janda. Jadi harus menjaga sikap di depan orang banyak. Meski kamu suaminya adik ipar Uni, kita tidak mahram. Berbulu nanti mata orang banyak melihat kita berboncengan. Dan berbusa pula mulut si Piah memarahi kamu,” kelakar Aini sebelum mengucapkan salam pada Nusar yang sebenarnya iba melihat penderitaan Aini.
Perempuan itu terlalu baik untuk disakiti. Selain itu, Nusar banyak berutang budi pada Aini dan Ibunya di masa lalu. Jadi saat Piah menzolimi Aini, dia langsung berada di belakang jandanya Sati, walau seharusnya seorang suami membela keras istri sendiri.
Namun, karena istrinya mungkin termasuk ke dalam golongan istri durhaka, Nusar sudah tidak mampu lagi menasihatinya, jadi secara tidak langsung kemarahannya berubah jadi pemberontakan secara diam-diam. Sayangnya, dia tidak bisa menceraikan Piah begitu saja, karena mereka sudah terikat perjanjian adat. Jika dalam pernikahan mereka ada yang minta cerai, harus membayar ganti dua ekor kerbau pembajak.
Ah. Nasib Nusar seperti berada di ujung tanduk, jika meninggalkan Piah dan Madun.
“Uni! Kalau Uni butuh apa-apa, cepat sampaikan kepada saya.”
Nusar masih berusaha mengambil hati Aini.
“Tentu saja. Uni pamit ya!”