Di sekolah, Rinai didera rasa gelisah.
Berulang kali kepalanya berputar-putar seperti jerapah hendak memetik pucuk akasia ke jendela kaca di samping tempat duduknya.
“Rin, kamu kenapa sih?” Bunga menyikut lengan sahabatnya.
“Tidak ada, aku pikir ibu jadi ke sekolah, tapi sepertinya diundur.”
“Kamu jadi pindah ya, Rin?” Wajah Bunga langsung muram.
“Entahlah, Flower. Semoga saja ada keajaiban.” Rinai tersenyum, lalu mengelus pipi sahabatnya.
“Ah, andai saja aku bisa memindahkan Piah ke planet paling jauh di antariksa sana dengan sekali mengacungkan telunjuk. Siang nanti, aku akan langsung praktikkan.” Bunga mendesah. Rinai mengulum senyum.
Sahabatnya memang paling suka mengkhayal, mungkin karena dia memang hoby membaca. Jadi apa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari sering dia jadikan cerita fiksi.
“Kenapa kamu malah tersenyum?”
“Bukan hanya kamu yang akan melakukan itu, jika memiliki kekuatan seperti tokoh-tokoh dalam buku ceritamu. Dengan tongkat ajaib milik Nirmala, aku bisa memindahkan etek Piah ke pulau Alaska. Jadi aku dan ibu, bisa hidup tenang dan tenteram. Hanya saja. Aku sekarang ini, hidup di dunia nyata. Bukan dalam buku cerita bergambar yang kamu miliki.” Rinai memang sudah berhasil mengalahkan egonya, sejak meninggalkan rumah tadi pagi.
Dia teringat pesan ayahnya tentang ujian hidup, “terkadang apa yang kita anggap buruk, menurut Allah itu yang terbaik. Jadi jangan pernah berburuk sangka pada Allah. Ingat ya, Rin. Apa yang kita alami di dunia ini semuanya ujian. Senang, susah, sedih atau kecewa, dikirim Allah ke hati ini untuk menempa keimanan kita.”
Beberapa hari ke belakang, Rinai memang sangat kecewa atas sikap Piah, tapi sekarang dia mulai berteman dengan rasa sakit di hatinya. Toh rumah dan tanah itu tidak akan pernah dibawa mati. Selama Allah masih belum mengatakan cukup untuk rezeki seorang hamba, makhluk itu akan tetap bernyawa dan dicukupi kebutuhannya. Tetapi tetap harus berusaha dan berdoa.
Bisa jadi setelah meninggalkan rumah itu, dia dan ibunya bisa buka usaha kue atau apa saja yang halal. Lalu mereka sukses. Dan besok bisa menunjukkan ke Piah, kalau mereka bisa bertahan hidup tanpa harta pusaka keluarga perempuan itu.
“Rin, kenapa melamun lagi sih?”
Bunga menggoyang lengan sahabatnya.
“Aku bukan melamun, tapi memikirkan bagaimana cara bisa jadi juara umum tahun ini.”
“Ish, tanpa kamu pikirkan, tetap saja kamu yang jadi juara umum.” Bunga cemberut. Bibir tipisnya langsung membentuk segitiga.
Perdebatan kecil antara dua sahabat itu berhenti, setelah mendengar suara tumit sepatu mengentak-entak lantai menuju pintu kelas. Bukan hanya Rinai dan Bunga yang langsung diam, tapi semua siswa yang ada dalam kelas itu, langsung tutup mulut. Kelas yang awalnya seperti pasar malam, langsung berubah jadi sepi seperti di kuburan Cina.
Rinai menarik napas, lalu menggaruk pipinya yang tidak gatal. Kemudian mengambil tugasnya yang tadi disimpan di dalam laci meja.
“Suda selesai tugas yang tadi ibu tinggalkan?” Baru saja Bu Nedta duduk, pertanyaan sudah dilemparkan dengan tatapan melebar.
“Sudah, Bu!” Ada yang menjawab, ada juga yang hanya menundukkan kepala.
“Baiklah. Sebelum dikumpul, periksa ulang. Nanti pas ibuk nilai, protes lagi.” Bu Nedta tersenyum, lalu berdiri dari kursinya.
Dari kursi, perempuan yang menurut anak didiknya paling cantik tersebut berdiri di depan kelas.
“Ibu membawa pengumuman penting.”
Semua kepala mendongak, mata mengarah ke wajah bulat telur ibu Nedta.
Meskipun rasa penasaran membuncah, tapi tidak ada yang berani bertanya. Anak-anak itu, menunggu dengan dada berdebar, seperti detik-detik pembagian raport.
“Jadi, sekolah kita diminta mewakili kecamatan untuk ikut lomba tari piring bersama dua sekolah lainnya dari desa tetangga. Siang nanti, ibu dan beberapa guru yang lain, akan mengadakan seleksi. Nah, di kelas kita ini ada beberapa orang yang menurut ibu bisa ikut seleksi.” Bu Nedta mengedarkan pandangan ke seisi kelas.
Bagi anak yang pemalu, pengumuman barusan tidak ubah seperti kabar buruk. Tetapi bagi yang terbiasa tampil, kabar itu seperti hadiah terindah. Karena selama ikut latihan, bebas tugas dan PR.
“Siapa yang mau ikut seleksi? Biar ibu data terlebih dahulu.” Ibu Nedta tidak mau membuat anak-anaknya merasa cemburu sosial ke yang lain, meskipun beliau sudah tahu siapa saja yang menurutnya bisa diikutkan untuk seleksi.
“Saya, Buk!” Bunga langsung mengangkat tangan.
“Saya juga, Buk!” Lanjut Nada.
Namun, Rinai?