Bayang-bayang tubuh Aini sudah condong ke Barat saat meninggalkan kediaman Bu Diah. Dia melangkah cepat di jalan pengerasan yang di beberapa bagian membentuk lubang besar. Biasanya setelah hujan, lubang-lubang yang menjadi kolam buatan tersebut dipenuhi anak-anak laki-laki bertelanjang dada dan bercelana buntung.
Kolam dengan air kuning berlumpur tersebut, hiburan tersendiri bagi anak-anak kecil di kampung itu. Walau berkali-kali diingatkan Aini, jika menemukan mereka seperti biawak di dalam genangan air. Kalau mandi air jalanan bisa mendatangkan penyakit kulit.
Sayangnya. Mereka tidak mengindahkan karena kulit mereka mungkin lebih kebal dan tebal dari kulit bangsa buaya. Jadi air lumpur tidak membuat mereka mengalami eksim, panu dan kurap.
Aini membuang napas, teringat Rinai yang dulu juga pernah dimarahi ayahnya ketika berenang bersama Bunga dan Nada di jalan depan rumah mereka. Awalnya anak-anak itu hanya izin mandi hujan. Tetapi akhirnya, merenangi bencah di tengah jalan. Sehingga ayahnya membawakan lidi menyuruh ketiganya keluar dari genangan lumpur di tengah jalan. Rinai, Bunga dan Nada serupa kerbau baru keluar dari kubangan saat digiring Bandaro Sati ke parit di belakang dapur mereka yang berair jernih.
Namun yang membuat Aini masih merasakan gelinya sampai detik ini, ternyata Datuak Sati ikut pula mandi parit dengan anak-anak itu dengan alasan menangkap udang.
Ah, kenangan itu seakan baru kemarin dilewati Aini. Padahal, sudah lebih empat puluh hari suaminya meninggalkan segala cerita yang mereka rajut bersama.
“Uni! Jadi ke sekolah Rinai?”
Aini hampir saja terlonjak, karena Nusar bertanya dari arah berlawanan. Saking asyiknya melamun, perempuan itu tidak melihat suami Piah datang dari arah areal pesawahan membawa dua jinjing belut baru dipancing. Darah kental masih menetes dari ekor hewan menyerupai ular tersebut.
“Nusar?”
“Uni. Jangan dibiasakan melamun sambil berjalan. Nanti dibawa pergi oleh orang bunian.”
“Tak sanggup orang bunian itu membawaku pergi, Nusar. Karena badanku berat.” Aini berusaha menghibur hatinya sendiri.
Nusar tentu saja tertawa kecil mendengar jawaban Aini.
“Eh, ini untuk Rinai satu jinjing. Dia kan suka sekali makan belut goreng.” Nusar mengulurkan sejinjing belut tangkapannya.
“Tidak usah, Sar. Kan bisa disalai oleh Piah. Bukankah Mira akan pulang?”
“Tidak baik menolak rezeki, Uni. Apalagi untuk anak yatim.” Nusar memaksa Aini menerima pemberiannya.
“Ya, sudah! Bawalah kue ini untuk Madun. Tadi kebetulan saya belajar memasak di rumah Ibu Diah.”
“Jadi gara-gara itu Uni tidak jadi ke sekolah Rinai?”
“Tidak. Kepala Sekolah sedang dinas luar. Jadi sia-sia saja kalau saya tetap ke sekolah Rinai.”
Nusar mengangguk tanda maklum.
Lalu menerima pemberian Aini yang dibungkus dengan kantong kresek berwarna putih.
Nusar lebih dulu meninggalkan jalan, karena tidak mau dilihat Piah bicara dengan Aini. Tetapi nyatanya, perempuan itu memandangi mereka dari balik tirai jendela beranda rumah gadang yang menjorok ke halaman.
Wajah Piah menegang. Matanya berkilatan. Dia menunggu detik demi detik, Nusar selesai membersihkan badannya di sumur belakang rumah.
“Hebat ya, Uda! Pura-pura memberi santunan untuk anak yatim. Padahal niatnya menggoda Aini si lawa-lawa hitam.”
Piah menjulurkan kepalanya dari pintu dapur yang terhubung ke sumur. Setelah tadi mengendap-endap meninggalkan beranda rumah gadang.
“Menggoda bagaimana maksud kamu, Piah. Apa salahnya saya memberikan belut itu sebagian untuk Rinai? Dulu Uda Sati juga sering memberi kita bahan dapur.” Nusar menyeka kakinya dengan kain basahan yang tergantung di dinding sumur.
“Alah. Itu kan alasan Uda saja!”
“Terserah kamulah, Piah! Alasan yang saya berikan, tidak akan bisa kamu terima.” Nusar memasukkan belut pancingannya ke dalam baskom, lalu melewati tubuh istrinya yang berdiri di ambang pintu. Sembari membawa makanan yang tadi diberikan oleh Aini. Perutnya terlalu lapar, jadi ocehan Piah dirasa tidak akan sanggup membuatnya kenyang. Jadi lebih baik, makan kue yang dibuat Aini dan Bu Diah.
Merasa tidak dipedulikan oleh suaminya, Piah malah marah pada Aini karena menurutnya, Nusar berubah karena tertarik pada janda kakak lelakinya yang cantik itu. Dia membanting daun pintu, lalu melangkah cepat ke arah rumah Aini lewat tuturan atap.
“Sudah masak belut yang diberikan Uda Nusar?” tanyanya di ambang pintu dengan wajah masam.