MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #14

BAB. 14

 

“Rinaaai ... Rinaiii ....”

Suara Nada dan Bunga serupa orang sedang belajar paduan suara. Rinai yang baru selesai mandi sore, bergegas ke jendela. Tetapi langsung dicegah ibunya. “Pakai bajumu dulu. Kalau nanti ada Pak Etek Nusar dan Madun lewat, kamu harus menanggung dosa mereka. Meskipun kamu belum bisa dianggap baligh, tapi tetap harus menutupi aurat.”

Gadis bermata hitam dengan alis tebal itu menyengir. “Maaf, Bu. Lupa!”

“Lupa atau memang sudah jadi kebiasaan?”

“Maaf, Bu.”

“Sudah. Sana ganti baju, biar ibu yang menyuruh teman-temanmu naik ke atas rumah.”

“Makasih ya, Bu.”

Ibunya menangguk, lalu tersenyum.

Dua bocah perempuan dengan kerudung hitam sebatas perut, berdiri rapat seperti pagar di halaman. Wanita tiga puluh lima tahun itu tersenyum dari jendela, kemudian melambaikan tangan. “Rinai baru siap mandi. Naiklah dulu! Ibu tadi membuat goreng ubi.”

“Goreng ubi pakai gula cair kan, Bu?” Nada langsung merespons.

“Iya.”

“Waah, enak itu, Nga.”

“Enak sih, enak. Tapi nanti kita malah perang bom atom di surau.”

“Sudahlah. Kan tinggal jadikan teka-teki. Meledak di lantai, hidung yang tersumbat. Apakah itu?”

“Ntuut!” Bunga menyikut lengan kawan akrabnya, lalu berlari ke jenjang rumah Rinai.

Mereka memang paling suka kalau mampir menjemput Rinai, disuguhi ibu Aini makanan tradisional dari ubi. Kadang digoreng, kadang direbus dan beri kelapa parut. Tetapi tetap nikmat dari keju buatan Jepang.

“Lama sekali si Rinai? Bergaya dulu dia rupanya?” Bunga mulai gelisah menunggu sahabatnya, walau ubi sudah sekian potong dia kunyah.

“Mungkin mencari cincin tempurung damar peninggalan ayahnya. Kan kalian mau latihan tari piring?” Aini menatap keduanya dengan penuh kasih.

“Tapi, kami tidak punya, Bu.”

“Dulu, cincin itu banyak dibuat oleh ayah. Jadi kalian dapat sepasang per orang.”

“Waah. Ternyata ayah sudah menyiapkan banyak hal untuk kita.” Bunga berseru.

Air mata Aini yang menggenang.

Kedua anak yang duduk di atas tikar sambil makan ubi goreng, memang dekat pula dengan Bandaro Sati. Mereka diperlakukan sama dengan Rinai. Kalau salah ditegur. Kalau berprestasi dipuji dan diberi apresiasi seperti jalan ke hutan mencari pakis dan lain-lain.

“Maafkan Bunga ya, Bu.” Bunga tersentak melihat air muka ibunya Rinai berubah.

“Kamu tidak perlu minta maaf, Nga. Ibu malah senang, kalian berdua masih ingat sama ayah.”

“Kami tidak akan pernah lupa, Bu.”

Akhirnya mereka larut dalam kesedihan. Bahkan tanpa disadari, air mata Bunga menetes ke pipinya. Sehingga ubi yang hendak dia gigit, terasa sangat keras.

“Kalian belum terlalu lama kan, menungguku?” Rinai dengan gayanya yang hangat keluar dari kamar.

“Eh, belum, Rin. Belum habis semua ubi goreng yang disuguhkan ibu.” Bunga menyeka air matanya dengan ujung jilbab sembari memandang ke arah jendela. Padahal yang bertanya datang dari kamar.

“Bu. Cincinya kurang satu. Adanya lima.” Rinai menunjukkan cincin yang dibuat dari batok damar ke ibunya.

Lihat selengkapnya