MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #15

BAB. 15

 

Seorang ibu, tidak akan tenang jika buah hatinya jauh dari pandangan. Seperti induk ayam atau kucing yang tidak bisa membiarkan anak-anaknya keluar dari kangkang-an. Selama dianggap masih belum bisa menjaga diri sendiri.

Begitu juga dengan Aini yang hanya memiliki satu anak. Si Upik dan Si Buyung dalam satu raga.

Berkali-kali dia memandangi perputaran jarum jam yang tergantung di dinding, tapi perpindahannya tidak bisa dihentikan dengan tatapan mata yang disertai kecemasan. Sudah pukul sebelas malam. Tidak biasanya Rinai pulang selarut ini. Apa mungkin karena dia latihan tari piring dulu? Atau masih berlatih silat dengan Ayek Malin?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak, hingga berbuah andai-andai yang menarik air ke pelupuk mata. Andai Bandaro Sati masih hidup, sudah pasti lelaki itu menjemput putrinya ke surau. Atau kalau dia tidak mau, Aini akan merengek pada suaminya. “Da! Kalau saja Rinai itu anak laki-laki, aku tidak akan secemas ini. Jika dia ke surau dari pagi hingga petang, aku tidak akan sekhawatir ini.” Dia memang tidak langsung meminta Bandaro menjemput Rinai, tapi dengan kata berbelok-belok karena lelaki terkadang baru merasa dihargai, kalau wanita menunjukkan ketidak-berdayaannya.

Aini membuang napas.

Berandai-andai tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Yang ada dia malah semakin gelisah karena tidak melakukan apa-apa. Dia bergegas mencari senter peninggalan Bandaro Sati yang biasa digunakan lelaki itu untuk menyuluh ikan ke sungai atau mencari belut saat malam.

Beruntung masih menyala. Meski sudah lama tidak digunakan.

Aini menyambar kerudung yang tersangkut di belakang pintu. Lalu mengambil kain samping yang biasa digunakan untuk pengganti rok, jika dia hanya memakai celana panjang. Sebab, istri seorang lelaki yang memiliki gelar, dianggap sumbang berpakaian, jika panggulnya kelihatan.

“Bismillah!” Lenyap sudah takut di dada, demi buah hati tercinta.

Setelah mengunci pintu, Aini mendongak ke angkasa. Langit terlihat cerah, walau bulan berada di balik awan. Artinya, dia tidak perlu membawa payung untuk persiapan, jika nanti turun hujan. Perlahan dia menuruni satu persatu anak jenjang rumah panggung yang dia huni. Lalu melesat ke jalan dengan sedikit berlari.

Baru beberapa langkah meninggalkan gerbang bambu yang dulu dibuat oleh Bandaro sebagai pembatas pekarangan dengan jalan, Aini dikagetkan oleh sosok berbaju putih yang datang dari arah berlawanan dengan terbungkuk-bungkuk seperti Cindaku yang sering diceritakan mendiang ayahnya ketika dia masih kecil.

Detak jantung Aini mulai tak beraturan. Napasnya tersendat-sendat keluar dari lubang hidung. Mau lari ke rumah? Bagaimana dengan nasib Rinai. Tidak kabur? Dia takut dilarikan Cindaku ke hutan larangan yang berada di gunung-gunung yang tersebar di Sumatera Barat ini.

“Allah.” Aini memejamkan mata.

Bukan karena nyalinya kecil, sehingga dia takut bertemu makhluk halus, tapi karena hari sudah terlalu malam yang membuat dia sedikit ngeri bertemu orang suruhan Bunian yang mungkin sedang mencari padi ke rangkiang-rangkiang di depan rumah gadang.

“Uni Aini? Mau ke mana malam-malam?”

Lega Aini mendengar suara itu.

“Nusar! Aku pikir kamu Cindaku yang sedang mengumpulkan padi ke rangkiang-rangkiang rumah gadang.” Aini bicara seperti itu, karena Nusar memang memikul karung.

Lihat selengkapnya