MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #16

BAB. 16

 Langit mulai pekat ketika Aini dan Rinai kembali ke rumah, setelah mengantarkan anak didik Ayek Malin hingga ke rumah Bunga. Dari depan pagar rumah sahabat putrinya, Aini bisa mengantar anak-anak yang lain dengan nyala senter saja, alias diterangi karena rumah mereka berdekatan.

Selain rumah mereka tidak berjarak, mendengar suara riuh rendah bocah pulang mengaji yang kemalaman, tentu menarik orang tuanya masing-masing keluar dari hunian. Lalu terdengarlah pertanyaan, “siapa yang mengantar?” Kemudian disusul teriakan, “Kak Rinai, makasih yaaa!”

Pahatan-pahatan kenangan yang tercipta di kampung sepi ini, tentu sangat sulit hilang dari benak Rinai, meski di Jawa nanti diampelas oleh Aini dengan hal-hal baru yang menyenangkan. Tetapi kebiasaan mengaji ke Surau, Basilek dan Manari, tidak ada di Jawa, karena kebanyakan anak-anak mengaji di TPA atau ke Mushollah.

Aini menarik napas, lalu merangkul pundak putrinya yang berjalan tanpa suara di sebelahnya. Sesekali dia terpaksa menahan langkah, karena ada lubang besar yang terbentang di tengah jalan.

“Bu.”

“Ya?”

“Aduh, apa ya? Lupa aku.” Padahal sebelum bertemu lubang di jalan itu, Rinai masih ingat apa yang mau dia katakan ke ibunya. Tetapi gara-gara hendak menyelamatkan roknya dari lumpur, gadis kecil itu lupa apa yang mau disampaikan.

“Masih kecil kok, jadi pelupa begitu, Rin?” Aini mengelus punggung putrinya penuh kasih sayang.

“Mungkin karena pikiranku bercabang banyak, Bu. Jadi agak pelupa belakangan ini.”

“Baguslah, kalau banyak cabangnya. Jadi buahnya juga banyak.”

Aini dan suaminya, memang suka bercanda dengan anaknya, tapi di saat yang menurut mereka tepat. Jadi saat Ibunya melempar gurauan, Rinai tertawa geli.

“Kalau pikiranku bisa berbuah, kita tidak perlu pulang ke Jawa, Bu. Tinggal jual ke pasar hasilnya.”

Mendengar jawaban buah hatinya, Aini terdiam. Tetapi langkahnya tetap diayun.

“Bu. Maafkan Rinai.”

“Kamu tidak salah. Kenapa minta maaf?”

“Soalnya, setiap kali aku berkata, kita tidak perlu pulang ke Jawa, Ibu pasti diam.”

“Ibu diam karena tidak tahu harus bagaimana menjawab, menanggapi dan mengomentarinya, Rin. Kamu sendiri kan sudah mendengar dan melihat alasan Ibu mengajakmu pulang ke kampung kita.”

Lihat selengkapnya