Rinai tidak menyangka, di bawah lindungan awan hujan dua perempuan yang seharusnya saling berkasih sayang seperti kakak dan adik, malah berseteru hanya karena salah satu dari mereka menyimpan dendam bertahun-tahun. Dendam itu seperti api membakar sekam. Tidak kelihatan, tapi tiba-tiba saja sekam menjadi hangus dalam waktu yang sangat singkat.
“Uni benar-benar perempuan yang tidak tahu diuntung. Baru saja kakak lelaki saya meninggal, uni sudah menggoda uda Nusar.” Piah menunjuk pematang hidung ibunya yang kembang kempis menahan emosi.
“Etek jangan asal tuduh. Mana mungkin Ibu tertarik pada Pak Etek Nusar. Semua itu bohong, fitnah!” Rinai membela Ibunya dengan napas tersengal-sengal.
Piah mencibir. Dia membalas tatapan tajam Rinai, lalu mengarahkan telunjuknya ke gadis itu. “Tahu apa kau anak kecil? Tadi saja ibumu ini menunggu Uda Nusar pulang dari sungai. Alasannya hendak menjemput kau dari surau, tapi apa? Mereka berbincang di simpang jalan yang gelap itu. Dan kemarin, ibumu ini memberikan kue buatannya pula untuk laki aden!” teriaknya dengan suara bergetar.
“Hentikan fitnah kau itu Piah. Saya dan Uni Aini tidak selingkuh seperti yang kau tuduhkan!” Tak lama terdengar suara Nusar. Dia turun dari rumah gadang dengan terburu-buru, sehingga kain sarung yang menutupi pinggang hingga betisnya, nyaris melorot.
“Alah. Uda sudah pasti membela janda kembang ini. Saya tahu, dia lebih cantik. Sehingga uda juga mengharapkan kematian Uda Sati.”
“Lancang sekali mulut kau, Piah!” Nusar terus membalas.
“Sudahlah, Piah. Sudah! Saya tidak mau bertengkar tengah malam. Malu kita pada orang kampung.” Aini berhasil mengendalikan amarahnya.
“Malu? Uni masih punya rasa malu hah? Saya pikir sudah tidak ada. Buktinya, uni tidak segan bicara tengah malam dengan suami ipar sendiri. Di tempat yang gelap pula.”
Rinai mencekal lengan ibunya, dia sudah gelap mata. Piah tak jauh lebih besar dari sebiji godok abuih yang dijual Fatma di kantin sekolah. Kalau perempuan itu menyakiti ibunya, dia tak akan tinggal diam. Mati karena membela ibu, sudah pasti syahid. Begitu pikirnya yang memang ditanamkan tauhid oleh Ayek Malin semenjak kecil.
“Kami bertemu karena kebetulan saja, Piah. Bukankah tadi sudah aku jelaskan?” Nusar menarik lengan istrinya supaya menjauh dari Aini dan Rinai.
“Alah. Kalau maling jujur, penuh penjara, Da.” Piah menepis tangan suaminya.
“Jangan sampai aku gelap mata, Piah!” Nusar mengangkat tangannya karena sudah tidak tahan mendengar makian istrinya.
“Tampar! Ayo tampar! Uda tega memukul istri sendiri hanya karena ketahuan selingkuh dengan mantan istri mamak rumah sendiri. Memalukan!”