Piah tertawa bahagia melihat Aini dan Rinai tidak ubah pesakitan yang digiring ke kantor Wali Nagari oleh puluhan masyarakat. Tetapi tidak demikian dengan Nusar. Lelaki itu tanpa bicara, meninggalkan anak dan istrinya menuju rumah saudara perempuannya yang berada di kampung sebelah, karena sudah tidak tahan melihat tingkah polah Piah dan Madun.
“Ayah minggat, Bu!” Madun menunjuk Nusar yang terburu-buru ke jalan di depan rumah mereka.
“Sudah, biarkan saja. Ayahmu itu tidak ada gunanya juga ada di sini. Dia tidak pernah percaya pada ibu.”
“Percaya bagaimana, Bu?”
“Kamu tahu, kenapa ibu ingin Mintuomu dan Aini minggat dari rumah nenek?”
Madun menggeleng.
“Itu lihat.” Piah menunjuk ke arah kolong rumah yang ditempati Aini.
“Gelap, Bu. Tidak kelihatan.” Madun mengucek matanya berulang kali.
“Di bawah kamar si Rinai, ada harta karun. Kalau mereka tetap menempati rumah itu, nanti malah minta bagian harta peninggalan Mamakmu pula,” jawab Piah serius.
“Waah, berarti sebentar lagi, kita akan jadi orang kaya, Bu?”
“Tentu saja, Dun. Kalau harta itu kita ambil. Ibu akan belikan kamu motor impianmu. Tetapi ingat. Kau harus mendengarkan semua perintah ibu. Walau bertentangan dengan ayahmu.”
“Tentu saja, Bu. Aku mana berani melawan ibu negara.” Madun tertawa bahagia. Bayangan harta karun yang akan mereka ambil dari bawah rumah Aini, menari-nari dalam ingatan. “Aih, sebentar lagi, aku punya motor untuk berangkat ke sekolah.”
“Sekarang tidur. Karena besok pagi, ibu harus mendatangi ninik mamak kita terlebih dahulu. Dari pada nanti kalah cepat dengan Pak Wali. Bisa gagal rencana Ibu.”
Madun patuh, dia bergegas naik ke rumah gadang yang mereka tempati, tanpa memedulikan bagaimana perasaan Nusar yang pulang tengah malam ke rumah adik perempuannya.
Harta sudah membutakan mata Piah. Kedengkian terhadap Aini, juga membuat hatinya menjadi bebal, sehingga dia melupakan hubungan darahnya dengan Rinai.
**
Berbeda dengan pandangan Piah, Aini dan Rinai malah diperlakukan dengan baik oleh warga yang mengantar ke kantor wali.