MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #19

BAB. 19

 

Seperti orang dagang yang pulang sebelum ayam berkokok, Aini dan Rinai pulang ke rumah mereka dengan mengendap-endap.

Walau mereka tahu, Piah dan Madun tidak pernah bangun sebelum Subuh. Tetapi Ibu dan anak itu tetap menahan suara, mana tahu, kali ini Piah bangun lebih awal dari pada biasanya. Bisa meletus bedil buluh dari mulutnya melihat mereka datang mengambil barang-barang tanpa izin darinya.

“Kita mandi di mesjid saja, Bu.” Rinai berbisik.

“Iya. Ambil saja seragammu, tas sekolah, buku dan pakaian sholat.”

“Handuk, Bu?”

“Sarung juga. Biar ibu ambil ember peralatan mandi kita.”

“Aku berasa seperti pencuri di rumah sendiri, Bu.”

“Sabar, Rin. Satu hari nanti, kamu bisa menjadikan kesulitan yang kita hadapi sebagai cambuk untuk menggapai cita-citamu. Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.” Aini mengecup ubun-ubun anaknya. “Ayo, buruan. Nanti Piah bangun.”

Rinai mengangguk. Dia bergegas ke kamarnya. Sementara sang Ibu juga langsung ke kamarnya mengambil uang hasil penjualan emas yang kemarin, beberapa helai baju dan surat-surat penting seperti KTP, KK, Buku Nikah dan lain-lain.

Anak dan ibu itu tidak punya kesempatan lagi untuk menangisi apa yang dialami, karena mereka harus berpacu dengan matahari terbit. Sebab biasanya Piah dan Madun, bangun saat cahaya sudah masuk dari ventilasi ke kamar mereka, lalu panik karena telat bangun.

Selesai mengemasi barang-barang pribadinya, Rinai menatap foto dia dan dua sahabatnya. Lalu memejamkan mata sejenak, seakan sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dia akan berusaha melakukan yang terbaik untuk ibunya.

“Sudah, Rin?”

“Sudah, Bu.”

“Semoga saja kita tidak terlambat sholat Subuh.”

Aini menyuruh putrinya keluar duluan, lalu dia mengunci pintu dengan tergesa-gesa. Setelahnya, mereka berjalan cepat ke arah mesjid yang tidak jauh dari kantor wali nagari. Di sana mereka membersihkan badan, lalu ikut sholat berjamaah bersama beberapa orang warga.

“Aini, Rinai. Mampir dulu ke rumah Etek ya.” Salah satu jamaah, dari empat yang hadir pagi itu, mendekati Rinai dan Aini.

“Maaf, Tek. Saya dan Rinai buru-buru, mau mengurus pindahnya.”

“Sarapan dulu di rumah Etek,” ajaknya dengan wajah penuh harap.

“Tidak usah, Tek.” Aini menolak dengan santun.

“Aini. Etek sudah dengar kejadian semalam. Si Piah memang tidak punya otak,” geramnya marah.


“Sudahlah, Tek. Saya dan Rinai sudah memaafkan dia.”

“Tapi kami semua yang tidak bisa tinggal diam.”

“Tek, tidak apa-apa. Mungkin ini jalan kami untuk pindah ke Jawa. Eyangnya si Rinai juga sudah rindu sekali pada cucunya ini.”

“Makanya. Kapan lagi, kalian makan di rumah Etek?” bujuknya sembari memegang tangan Rinai.

“Ayolah,” ulangnya memelas.

“Baiklah, Tek.” Aini tidak mungkin menolak rezeki, apalagi datangnya di saat subuh. Sebab yang dia yakini, ketika ada kebaikan yang dikirim Allah lewat tangan orang lain, apalagi di waktu sebelum terbut fajar, berkahnya sangat besar.

Lihat selengkapnya