MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #20

BAB. 20

Dari pagi sampai jam pulang, Rinai tak henti mengajak kedua sahabatnya bercanda dan bercerita di sela-sela jam efektif belajar. Hingga akhirnya mereka mendengar suara lonceng pulan dipukul panjang oleh penjaga sekolah.

“Alhamdulillah.” Rinai mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sementara anak-anak yang lain langsung menghambur ke luar kelas, meninggalkan Rinai, Bunga dan Nada yang masih betah di kursi masing-masing.

“Rin. Kamu bahagia sekali meninggalkan kami,” tuduh Bunga dengan wajah masam.

Rinai tertawa kecil. “Tidak akan ada orang yang bahagia berpisah dengan teman baiknya, Bung.”

“Buktinya, barusan kamu mengucap syukur.”

“Ondeh mandeh. Wajarlah aku bersyukur. Kan kita baru selesai memungut ilmu yang diserakkan Bu Nedta?” Rinai mendelik.

“Aku jadi sensitif semenjak kamu bilang mau pulan ke Jawa,” akunya pelan.

“Wajar sih, karena tanpa aku, kalian berasa tungku kurang satu tonggak.”

“Iya, Rin. Kami pasti kesepian tanpa kamu.” Nada mencekal pergelangan tangan sahabatnya.

“Persahabatan tidak akan pernah lekang oleh masa. Aku janji akan menemui kalian satu hari nanti, setelah kita sama-sama sukses.” Rinai menatap kedua sahabatnya bergantian, lalu melanjutkan kalimatnya. “Kalian pulang duluan saja, aku ada urusan dengan Bu Rani. Oh, iya. Kali ini Kalian boleh memelukku dan menangis sepuasnya.” Rinai membentangkan tangan, kedua sahabatnya langsung mengikat tubuh Rinai yang tinggi dengan tangan masing-masing. Nada dan bunga sesenggukan, Rinai pun tidak bisa menahan gemuruh yang mendesak air matanya menetes.

 Tiga sekawan itu larut dalam kesedihan, kepergian Rinai pasti menyisakan sepi yang teramat sangat di hati Bunga dan Nada.

 “Sudah-sudah, malu di lihat kucing. Masak sudah besar menangis?” Rinai membesarkan hati kedua sahabatnya, dia meyakinkan kalau dirinya pasti kembali lagi ke sini. Begitu juga janji kepada dirinya sendiri.

“Yuklah, aku antar kalian sampai ke gerbang.”

Rinai tidak mau kedua sahabatnya mencium rencana yang akan dia lakukan, makanya dia berbaik hati mengantar Bunga dan Nada hingga ke gerbang sekolah. Setelah tubuh Bunga dan Nada menghilang di balik pohon akasia yang tumbuh berjejer di pengkolan menuju rumah mereka, barulah Rinai kembali ke dekat kelasnya.

 Gadis itu tertegun sejenak melihat kelasnya yang sudah kosong, lalu dia menarik nafas dalam-dalam dan berkata dalam hati, “maafkan Rinai, ibu. Semua ini harus dilakukan, ini demi masa depan kita.”

Matanya mengitari areal sekolah dengan perasaan tak menentu. Setelah memastikan tidak ada siswa yang tertinggal di kelas masing-masing, Rinai melangkah menuju samping sekolah, di situ ada bangunan baru. Mungkin di sana aman untuk bersembunyi sampai ayek Malin pulang dari pasar ternak.

Rinai menarik balok kayu yang tersusun di samping dinding belakang kelas, kemudian dia buat bidang miring ke pagar seng pembatas sekolah dengan bangunan tersebut.

Baru sebelah kaki naik ke balok tersebut, Rinai harus menghentikan aksinya karena ada yang memanggil namanya dengan teriakan.

“Rinai ...!” Rinai menoleh, di belakangnya telah berdiri Bu Nedta sambil berkacak pinggang.

Lihat selengkapnya