MATI LINEAL

Nilam Cayo
Chapter #21

BAB. 21

 

Semilir angin mengipas dedaunan yang tumbuh di ujung-ujung ranting pohon. Desaunya bukan hanya membuat jantung Rinai gigil, tapi juga menghalau burung dalam sarang terbang meninggalkan anaknya. Suara cicit-cicit kecil itu, tak ubah irama kematian yang membuat Rinai semakin bergidik mengayunkan langkah.

Meskipun takut, dia tetap memaksakan diri, berjalan di antara pohon besar yang tumbuh di pinggir sungai kecil di bawah lembah. Rinai bingung mencari lokasi paling aman agar jangan terlihat dari jalan kecil yang tadi dia lewati karena jalan itu satu-satunya penghubung hutan tersebut dengan perkampungan.

Dia berjalan ke hilir sungai, lalu duduk di batu besar yang sedikit tersuruk oleh semak perdu yang tumbuh di pinggir jalan setapak. Saat ketakutan mulai merayapi jiwa, tangisnya pecah, tetapi sebisa mungkin dia tahan suara tangisnya agar tidak jauh terbawa angin. Air mata itu bukan hanya karena takut, tapi cara terakhir baginya menemukan keberanian. Bukankah dia sendiri yang nekat pergi ke hutan?

Dalam derasnya air mata yang jatuh, dia teringat kata-kata ayahnya. “Menangislah, jika itu bisa membuat kamu bisa lebih tenang.”

 Benar saja, setelah Rinai menangis. Dia bisa berpikir lebih jernih, perasaannya jauh lebih tenang. Rinai menyauk air jernih dengan kedua tangannya, membasuh muka kemudian dia berwudu untuk salat zuhur.

Sajadah kecil dia gelar di atas pasir putih pinggiran sungai, menatap langit ke arah barat. Kata ayahnya, kalau kiblat tidak diketahui, “hadapkan saja ke Barat.” Untung Rinai selalu ingat apa yang disampaikan ayahnya, selesai salat dia melangitkan doa semoga Allah memberinya petunjuk dan keselamatan.

 Sampai waktu asar Rinai masih di sungai kecil tersebut. Untuk menghilangkan rasa takut dan bosan, dia menangkap udang di balik batu kecil yang bertumpuk di tepi dengan mencapit pakai dua jari. Udang-udang seukuran kelingkingnya berhasil ditangkap, karena memang dari kecil sudah dilatih oleh sang ayah untuk mencari lauk apa saja hasil alam yang berlimpah di kampung mereka.

Cukup banyak Rinai menangkap udang-udang kecil tersebut, kemudian dia tusuk pakai tulang daun yang agak keras, hingga menyerupai sate. Lalu dia membuat api dengan menggesek dua batu seukuran tinju orang dewasa. Memang agak sulit, tapi karena Rinai gigih dan sabar akhirnya dia berhasil membuat api dan membakar udang tersebut sebagai pengganjal lapar

 Menjelang magrib anak itu melanjutkan perjalanan, ke tempat yang dulu pernah diceritakan ayahnya. Pondok di tengah hutan, milik seorang perempuan tua yang menakutkan.

Kata ayahnya perempuan itu akan keluar sebelum magrib dan pulangnya tengah malam, jadi Rinai berpikir aman bersembunyi di sana, sampai besok pagi.

Kendatipun takut mengekang langkahnya, tapi Rinai sampai juga di tujuan ketika senja merebut petang. Langit mulai kelabu, pandangan semakin pendek karena dunia mulai dibungkus gelap. Sehingga pondok yang dia tuju, tak ubah seperti sarang hantu dari kejauhan, berdiri di antara rimbunan pohon bambu yang berjejer mengelilingi. Rinai menguatkan hati dengan membaca Ayat Kursi, kata ayah dan ayek Malin, “Jin dan setan itu akan lari, jika dibacakan Ayat Kursi. Selalu minta perlindungan kepada Allah, sesungguhnya semua makhluk yang ada di muka bumi dalam genggaman-NYA.”

 Rinai tercenung sejenak. Dia mulai berandai-andai. Jika saja tadi siang tidak ada pekerja di rumah baru yang sedang dibangun di samping sekolahnya, mungkin saat ini dia sudah bisa tidur. Tetapi karena ada pekerja yang tinggal di sana dan semuanya laki-laki, dia terpaksa ke pondok di tengah hutan ini.

Pondok kecil di depannya seperti rumah panggung, memiliki kolong yang lumayan luas untuk sembunyi. Sebagian kolongnya tertutup kayu api yang disusun bertingkat sampai ke lantai. Rinai bukan saja mau sembunyi, tapi ada sesuatu yang ingin dia cari agar bisa membuat Piah sadar dan jera karena telah mengusirnya dan sang ibu dari rumah yang penuh kenangan bersama ayahnya.

 **

Sementara itu, di rumah pesuruh kantor wali, Aini gelisah. Matanya bergantian melihat ke langit yang semakin gelap. Cemas yang mendera membuat keringat dingin keluar dari telapak tangan dan dahi. Nafasnya memburu di sela debar jantung yang berpacu dengan jarum jam yang melingkar di tangannya. Sesekali dia mengarahkan mata ke jalan di samping kantor wali yang semalam mereka lewati menuju rumah kecil ini.

Lihat selengkapnya