Malam semakin gelap. Pekat.
Sinar rembulan seperti enggan membelah awan mendung yang bergelayut di langit. Angin mulai bertiup kencang, merontokkan daun bambu kering yang mengelilingi pondok tersebut. Suara desau membuat Rinai menutup telinga dengan kedua telapak tangan.
Rinai berusaha melawan rasa takut dengan membaca beberapa ayat pendek, perlahan dia jongkok lalu merangkak ke bawah kolong pondok tersebut. “Alhamdulillah,” lirihnya setelah berhasil masuk ke sana.
Rinai duduk menekuk lutut, menahan debar ketakutan yang membuat bulu kuduknya meremang. Gadis kecil itu duduk beralaskan buku pelajaran yang disusun seperti tikar, agar roknya tidak kotor terkena tanah.
Tatapannya terhalang pekatnya malam, dia tidak bisa melihat apa-apa kecuali mendengar suara angin dan binatang rimba yang terdengar mengerikan.
“Aku harus berani, aku kuat!” Rinai berbisik, menguatkan hati yang mulai goyah.
Sebenarnya Rinai tidak yakin bisa sampai ke pondok ini, selain tempatnya jauh, penghuninya juga sangat menakutkan. Sehingga tidak satu orang pun masyarakat kampung berani datang ke pondok milik wanita tua bernama Inyiak Murai ini.
Dari cerita orang tua-tua yang didengar Rinai, selain wajahnya menyeramkan Inyiak Murai juga makan anak-anak. Dia juga pernah membunuh wanita yang melahirkan di rumahnya, lalu memakan bayinya. Sejak saat itu Inyiak Murai diusir dari kampung karena dianggap gila.
Bayangan tubuh bungkuk, dengan suara cempreng melintas di kepala Rinai. Tubuhnya bergidik membayangkan wanita pemakan anak-anak itu. Jangan-jangan dia sendiri korban berikutnya.
Rinai pernah mendengar cerita Inyiak Murai dari Ibunya Nada, sosok itu bila bicara sulit berhenti, volume suaranya selalu tinggi persis seperti burung murai yang berkicau setiap pagi.
Kalau memasuki bulan puasa, Inyiak Murai pasti pergi jauh. Kembali setelah hari ke tiga lebaran. Kata orang kampung, wanita itu pergi Manuntuik (Menuntut ilmu hitam) tapi entah kemana?
Rinai pernah menanyakan tentang Inyiak Murai kepada ibunya, sewaktu Nada dimarahi ibunya karena terlambat pulang sekolah.
Ibunya menjawab pertanyaan Rinai sambil tertawa.
“Inyiak Murai itu, seorang Dukun beranak. Sebelum eyang dinas di sini. Dia yang membantu orang kampung melahirkan dan Ibu tidak pernah mendengar dia membunuh atau makan bayi. Anggapan orang seperti itu, mungkin karena Inyiak Murai jarang tampak di tengah-tengah masyarakat, jadi beliau di jadikan sebagai momok untuk menakuti anaknya yang nakal,” tutur ibunya untuk menenangkan Rinai. Dia percaya, kalai ibunya tidak mungkin membohonginya.
Rinai berharap apa yang dikatakan ibunya benar, dia menelan ludah saat hujan mulai jatuh satu persatu seperti namanya. Rinai.
Air dari langit jatuh dari tuturan atap ke tanah. Dingin merayapi bagian kaki yang terbuka, Rinai merapatkan tangan ke ketiak agar dingin berkurang.
Sayangnya, semakin lama hujan semakin lebat, belum lagi kilatan cahaya mengajak petir berdentuman yang membuat Rinai harus menutup lubang telinga dengan telapak tangan, sekaligus menahan gigil yang membuat giginya gemeletuk.
Kakinya mulai kesemutan, rasa dingin mulai menjalar bersama takut yang membuat Rinai menekurkan kepala ke lutut dengan mata terpejam.
Saat ini Rinai terpaksa menahan takut sendiri, tidak ada lagi tempat mengadu. Dia memejamkan mata, lalu membayangkan wajah ayahnya yang perkasa untuk mengalihkan rasa takut yang membuat dia hampir menangis.
“Andai saja ayah masih hidup, pasti aku tidak akan melewati malam menakutkan seperti ini,” isaknya ketika ketakutan mulai berada di titik paling tinggi.
Sebenarnya tujuan utama Rinai datang ke pondok ini, bukan lari dari masalah. Melainkan mencari ramuan untuk Piah. Supaya perempuan itu menyadari kesalahannya karena dia pernah mendengar dari orang tua kawannya, selain makan orang, Inyiak Murai bisa meramu obat. Tetapi hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan ramuan yang dia racik, itu pun harus memenuhi berapa syarat yang cukup berat.
Rinai berharap Ramuan itu bisa membuat Piah sadar, agar adik ayahnya itu tidak jadi mengusir mereka. Tapi Rinai tidak mau mencuri, karena ayahnya pernah berpesan. “Lebih baik meminta, jika itu memang sangat dibutuhkan. Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin, itu bukan sikap ksatria!”
“Kalau terdesak, Yah?.”
“Tetap tidak boleh! Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup mencuri dan marampeh (merampas)!” Datuak Sati menatap bola mata putrinya, berharap nasihat yang diberikan langsung menancap di hati dan pikiran sang anak yang masih putih.
“Tapi aku juga tidak mau menjadi pencuri kok, Yah.”
“Ayah tahu. Sebab ibumu perempuan yang baik, jadi sudah pasti anaknya baik pula.”
“Ayah malah memuji ibu.”
“Biar kamu ingat terus, kalau ayah tidak hanya menyayangi kamu, tapi ibumu itu ratu di hati ayah.”
Percakapan antara Rinai dan ayahnya beberapa bulan yang lalu, mengundang air mata jatuh ke pipinya. “Ayaah,” panggilnya sembari merapatkan pelukannya di lutut, karena tanah di bawah kolong pondok itu mulai basah oleh tempias air hujan.
Tak lama dia memanggil ayahnya, Rinai dikejutkan oleh suara desau daun bambu terinjak. “Allah. Lindungi aku.” Dia melihat ke sumber suara. Tidak ada bayangan manusia, mungkin ada pohon roboh, pikirnya menghipnotis diri sendiri agar takut tidak membuat dia kehilangan kesadaran.
Baru saja napasnya teratur, jantungnya sudah dikejutkan kembali oleh suara cempreng dari dalam pondok. “Naiklah, aden tau, kau di bawah!”
Glek ....
Suara melengking itu?
Persis cerita ibunya Nada. Menyuruh dia naik ke atas pondok?
Allah.
Rinai meringis, kenapa dia bisa tahu keberadaanku? Dia semakin panik karena tidak tahu harus lari ke mana. Selain gelap gulita, hujan pun tak berhenti turun. Sementara tadi yang dia lewati sungai dan jalan setapak. Tetapi, kalau dia naik ke pondok? Nanti malah dimangsa Inyiak Murai.
“Ayo naik! Apa kau mau ular-ular di pohon bambu itu mematuk kaki, kau?!”
Teriakan perempuan itu membuat jantung Rinai seakan hendak melompat dari dalam rongga dada. Kulitnya bergidik membayangkan ular-ular kecil itu merayap dari pohon bambu, melilit tubuh, lalu kakinya dipatuk. Rinai tidak mau itu terjadi. Perlahan dia berjongkok, lalu merangkak keluar dari kolong yang tingginya tidak sampai 40 senti meter.
Sementara di luar pondok, air cucuran atap sudah menunggu tubuh kurusnya untuk dimandikan. Dingin tumpahan air membuat giginya beradu, menimbulkan bunyi gemeletuk.
Rinai menaiki tangga yang terbuat dari susunan potongan kayu seukuran betis dengan kaki gemetar, tangannya berusaha mendorong daun pintu.
Hampir saja Rinai terpeleset dari tangga yang basah. Selain cahaya yang tidak ada, daun pintu pun menjepit lantai sehingga sulit terkuak.