Mentari baru saja membuka tabir gelap di ufuk Timur, bersama kicauan burung di pohon-pohon kelapa yang berjejer di halaman depan mesjid. Cahayanya menembus jendela yang terbuka lebar, mengalirkan hangat ke dalam rumah ibadah yang tak ditinggalkan jamaah semenjak Rinai dikabarkan hilang. Suara jamaah membaca Zikir Amali sehabis subuh secara bersama-sama, menggetarkan bangunan semi permanen tersebut. Zikir itu dibaca, dengan harapan Rinai segera ditemukan dalam keadaan selamat. Setelahnya dilanjutkan dengan doa selamat yang dipimpin Ayek Malin yang sama-sama mereka aminkan.
“Aini. Lebih baik, kamu pulang ke rumahmu. Mana tahu Rinai ada di sana.” Setelah melakukan musyawarah, Ayek Malin meminta Aini pulang ke rumahnya ditemani Fatma.
“Kalau dengan Fatma saja, saya tidak berani, Datuk.” Aini menunduk.
“Nanti ditemani Bapak Linmas agak dua orang.”
Barulah Aini mengangguk.
Meskipun dia tak yakin Rinai bersembunyi di rumah mereka, tapi bisa saja itu dilakukannya karena pintu dapur hanya dipalang dengan kayu kecil. Jadi Rinai bisa masuk lewat sana dan bersembunyi di kamarnya.
“Ayo, Aini. Mana tahu, si Rinai malah tidur nyenyak di kamarnya.” Fatma menghibur hati perempuan itu.
“Semoga saja ya, Fat.”
Keduanya meninggalkan mesjid setelah menyalami beberapa orang ibu-ibu yang masih melanjutkan zikir dan mengaji demi keselamatan Rinai yang memang sangat mereka sayangi. Anak itu sangat baik, jadi mereka sama berharapnya dengan Aini, bisa membantu pencarian Rinai lewat jalur langit.
Fatma menggandeng tangan Aini, melewati jalan tanah yang sangat licin karena hujan lebat tadi malam. Dia takut Aini jatuh, sehingga tidak mau membiarkan perempuan lemah itu berjalan tanpa pegangan.
Tidak ada yang mereka bincangkan selama perjalanan, Fatma pun enggan mengungkit kepergian Rinai, takutnya Aini pingsan lagi seperti semalam.
Sampai di pekarangan rumahnya, Aini tertegun. Banyak ibu-ibu yang datang berkunjung ke rumah Piah pagi-pagi. “Ada apa lagi, ini?” bisik Aini.
“Entahlah!” Fatma mencekal lengan Aini agar merapat ke badannya, sembari mengarahkan mata dan pendengaran ke jenjang rumah Piah yang dikerumuni warga.
Di sana perempuan angkuh itu, terlihat menunjuk-nunjuk warga yang menatapnya dengan beragam ekspresi. “Saya tidak tahu apa yang kalian maksud! Siapa yang bicara seperti itu ke kalian, hah?!” teriakan Piah terdengar melengking. Beruntung dia tak melihat Aini dan Fatma datang ke rumah milik orang tuanya. Karena itu akan menjadi sumber masalah baru bagi Aini, walau nanti ada tenaga keamanan Nagari yang akan melindungi.
Hanya saja Bapak LInmas yang diminta Ayek Malin menemani, belum kelihatan ujung hidungnya. Jadi wajar kalau Aini dan Fatma was-was mendekati jenjang rumah panggung tersebut.
“Kita masuk dulu, Ni. Nanti aku cerita, kenapa banyak warga yang datang ke rumah Piah.”
Fatma menarik lengan Aini agar segera masuk ke dalam rumah yang sudah diperkarakan Piah.
“Alhamdulillah.” Fatma langsung mengucap syukur saat Aini mengunci pintu dari dalam dengan dada naik turun dan napas tersengal-sengal.
“Aku tak ubah maling masuk ke rumah sendiri, Fat.” Aini menahan tangis.
“Dari pada diserang Piah? Lebih baik kita mengendap-endap.” Fatma mengelus lengan perempuan itu.