Udara pagi di tengah hutan ternyata lebih dingin daripada di rumahnya, Rinai merapatkan tubuh dibalik kain panjang yang menjadi selimutnya dari semalam.
Suara nyanyian burung terdengar mengalun merdu, pindah dari satu ranting ke ranting lainnya. Rinai berusaha memejamkan mata, berharap bisa mengulangi tidur setelah salat subuh.
Namun, harapannya patah, karena Inyiak Murai malah membuka jendela yang ada di atas kepalanya. Cahaya matahari langsung menyeruak di sela dedaunan, sebagian lagi menerpa wajah Rinai yang tertutup selimut.
Tubuhnya menggeliat, berusaha melawan cahaya yang mulai membuat pedih mata walau bersekat kain.
“Ayo, bangun. Kamu harus pulang, kasihan Ibumu!” suara Inyiak Murai terdengar dari atas kepala Rinai.
“Aku tidak mau pulang, aku mau di sini saja bersama Inyiak,” jawabnya dengan wajah masih tertutup.
“Bukankah kamu mau mengobati Piah?”
Mendengar itu Rinai langsung bangun, berarti semalam Inyiak Murai bohong dengan mengatakan tidak memiliki ramuan yang dia inginkan.
“Berarti, Inyiak punya ramuannya?”
Wanita itu menjawab dengan anggukan.
“Kemasi barang-barangmu. Lipat selimut dan gulung kasurnya. Saya mau menyiapkan ramuannya dulu!”
“Makasih, ya, Nyiak.”
Pipi kempot perempuan tua itu menipis, saat tersenyum ke putri Aini itu.
Setelah semua dikemasi, barulah Inyiak Murai keluar dari kamar dan menyuruh Rinai menutup kembali jendela pondoknya. “Turunlah dulu, biar Inyiak yang mengunci pintu,” perintahnya sambil memperbaiki posisi buntalan kain serupa sarang lebah, di pundaknya.
Rinai mengangguk. Tas sekolahnya disandang di punggung, lalu turun ke tanah dengan perasaan bahagia, karena apa yang dia cari, akhirnya didapatkan juga.
“Ayo!”
Setelah pintu dikunci, perempuan itu mendahului Rinai menuju sungai yang kemarin diseberangi Rinai menuju pondok. Kemudian menyisir jalan setapak menuju perkampungan.
“Sudah saatnya!” gumam Inyiak Murai sambil tersenyum, tanpa menghentikan langkahnya.
Lebih kurang lima belas menit berjalan, akhirnya mereka tiba juga di ujung kampung. Rinai menghentikan langkah, “Inyiak yakin mengantarku pulang?” tanyanya serius. Melihat tubuh bungkuk Inyiak Murai hatinya menjadi iba.
“Tentu saja.” Dia menjawab pelan.
“Biar Rinai yang bawakan buntalan itu. Biar Inyiak lebih ringan berjalan.”
“Ini tidak berat, kau saja masih kuat aku gendong!” guraunya sambil menata napas yang tersengal-sengal.
“Atau mau Rinai bimbing?”