Jarang-jarang terjadi di kampung sekecil ini warga berbondong-bondong ke suatu tempat. Kalau bukan ada yang meninggal, pasti karena ada orang baralek (hajatan).
Kali ini bukan karena baralek, bukan juga bukan karena kematian. Melainkan karena kabar harta karun yang ada di bawah rumah Rinai beredar dari mulut ke mulut, terembus angin kampung yang kuat. Kabar burung itu membuat masyarakat keluar rumah seperti semut kebanjiran sarang.
Suara riuh rendah dari warga yang berkerumun membuat Piah tidak nyaman berada dalam rumah. Suara tawa berderai diselingi gurauan khas Minang membuat perempuan itu benar-benar murka.
Wajahnya memerah, menahan emosi yang menggelegak. “Dasar manusia tidak berperasaan, sudah ditinggal masuk masih saja bertahan di depan rumah orang!” gerutu Piah. Wanita itu bergegas kembali keluar dengan mata membesar, mulutnya memberungut seperti termakan asam kandis.
“Kenapa kalian masih ada di sini, hah?!” Piah bersungut-sungut. Puluhan warga tampak antusias menunggu jawaban dari wanita pemarah tersebut.
“Akhirnya Piah muncul kembali,” ujar wanita yang duduk di lesung batu milik Piah. Lesung itu berada tepat di pangkal jenjang rumah Gadang Pia.
“Bukannya kau sendiri yang mengatakan, di bawah rumah Aini ada harta. Kami ingin lihat, mana tau sekarang kau sudah murah hati.” lanjut seorang ibu yang berdiri di bawah jenjang rumah Piah sambil tersenyum.
“Kalaupun ada, itu bukan hak kalian, itu harta peninggalan Amak, den!” (Peninggalan ibu saya!)
Wajah Piah memerah, kepalanya digaruk kasar. Hampir saja tengkuluk yang dipasang asal-asalan jatuh ke lantai. Senyumnya sinis, matanya berputar. Siapakah orang yang telah menyebar isu itu? jangan-jangan Nusar, suaminya sendiri? Tapi itu tidak mungkin karena Nusar pendiam, atau Mungkin Madun?
Beribu pertanyaan bersarang dalam kepala, Piah bergeming. Lantas mengedarkan pandangan kepuluhan warga yang menyebar sampai ke halaman depan rumah Aini.
Piah gusar, kalau ramai begini pasti tetua Kampung akan datang. Menanyakan sebab-musabab kedatangan warga. Ini pasti gara-gara Rinai yang hilang, pasti anak itu sudah cerita pengusirannya kepada warga.
Setiap menit ada saja warga yang datang, sepertinya mereka akan ikut menggali lubang anai-anai itu. Piah mendengus, masuk ke dalam rumah tergopoh-gopoh.
Wajahnya tampak menyeramkan dengan mulut memanjang. Apalagi dia melihat Madun masih meringkuk di kursi ruang tengah. Apa dia tidak tahu, pagi ini rumah mereka dikerubungi banyak orang, dasar kerbau, gerutu Piah kasar.
Tangan Piah menjewer kuat telinga Madun, anak itu menjerit. “Amak, ko. Sakit telinga, ambo!” Madun meringis dan berusaha melepaskan tangan Piah.
“Kepada siapa kau cerita tentang harta peninggalan Inyiak di bawah rumah Rinai?” Madun tertegun, bingung mau menjawab apa? Dia sendiri baru tahu, kalau ada harta karun di sana.
“Jadi benaran ada harta di sana ya, Mak?” Mata Madun berbina.
“Aden batanyo, waang malah baliak batanyo!” hardik Piah. (saya bertanya, kamu balik tanya)
Seperti cacing kepanasan, Piah meloncat-loncat berjalan ke Pintu kamar. Matanya membulat, melihat Nusar ternyata tidak ada di kamar. Entah lupa atau memang karena baru bangun tidur, Piah tidak ingat Nusar meninggalkan rumah itu, setelah Aini dibawa oleh wali nagari dan warga ke rumah pesuruh kantor.
“Bapakmu mana, Dun?” Piah kembali ke dekat anaknya.
“Mana aku tahu, Mak.”
“Jangan-jangan memang Nusar yang menyebarkan berita tentang harta karun itu.” Piah mendongkol.
“Bisa jadi Mintuo Aini, Mak.” Madun malah mengadu domba.
Aini?
Pastilah dia mengetahui sedikit banyak rahasia suaminya, karena suami istri itu pasti saling terbuka dan tidak ada rahasia di antara pasangannya. Piah mengepalkan jari, “Mungkin juga, awas kau, Aini!” Wanita itu meninggalkan Madun dan turun ke jenjang rumah gadangnya dengan wajah memerah.
Piah tidak peduli orang-orang yang datang kasak-kusuk di tangga rumahnya. Ada yang berbisik ada pula yang menambah-menambahkan cerita baru, bahkan ada juga yang mengaitkan dengan hilangnya Rinai.
Langkah Piah terdengar mengentak di tanah, wajahnya cemberut. “Orang-orang ini datang mengganggu ketenanganku saja,” gumam Piah berang. Tubuhnya melewati kerumunan warga yang berdiri sampai ke halaman depan rumah Aini.
“Aini. Turun! Saya tahu kamu ada di dalam!”
Piah tadi memang sempat melihat Aini dan Fatma, tapi karena matanya berat, dia membiarkan saja perempuan itu masuk ke dalam rumah.
“Aini, keluaar!” Dia mulai memukul dinding.
Aini kaget, begitu juga Fatma. “Bagaimana ini, Fat?”
Aini menatap Fatma.
“Ayo, turun. Takutnya Piah mengamuk kepada warga.” ajak Fatma.
“Tapi, Fat.”
“Hadapi saja. Mumpung warga sedang ramai.” Fatma menguatkan.
Halaman Rumah yang dipagari beberapa pohon pinang dan kelapa sudah sesak, ada yang duduk, sebagian lagi ada yang bersandar di pohon berbuah polong tersebut.
Aini menarik napas panjang, masalah Rinai belum selesai, kini tumbuh masalah baru tentang harta karun.
“Fat. Aku takut.”
“Aku yang akan melindungimu!”
“Bismillahirrohmanirrohiim.”
Aini mendekat ke pintu dan membukanya perlahan. Lalu berdiri di beranda yang menghubungkan tangga dengan halaman.
Dia tertegun, dia bingung, kenapa banyak orang percaya dengan cerita bohong yang tidak jelas asal usulnya itu, sampai mereka mau mengorbankan sebagian waktu bermanfaat, untuk berkerumun di sini. Padahal padi di sawah mereka harus diawasi, karena hama pipit sedang banyak.
Aini terselamatkan dari amukan Piah, karena dari balik kerumunan warga, Ayek Malin mendehem. Lelaki tua itu tidak sendirian, ada Rinai dan Inyiak Murai bersamanya. Kedatangan mereka membuat warga terkejut dan diam.
Darah Aini berdesir, matanya mulai berair. Dia melompat turun dari tangga rumahnya tanpa memedulikan Piah. Dia terus berlari ke dekat Rinai yang berdiri rapat di sebelah Inyiak Murai.
Dengan air mata berjatuhan, dia memeluk dan menciumi pipi putrinya seakan tak mau melepaskan lagi. “Rinai minta maaf ya, Bu.”
“Ibu sudah maafkan, tapi tak seharusnya kamu membuat semua orang cemas, Rin.”
“Rinai sebenarnya tak mau pulang ke Jawa, Bu. Jadi Rinai kabur.”
“Tapi itu bukan jalan untuk menyelesaikan masalah, Nak.” Aini menatap putrinya dengan mata basah.
“Sudahlah Aini. Jangan kau marahi terus anakmu!” Inyiak Murai menegur Aini.
Perempuan itu melepaskan pelukannya dari tubuh Rinai, lalu meraih tangan wanita bungkuk itu.
Tangan itu diciumnya lama, dengan tubuh bergetar. Air matanya tumpah ruah di sela isak yang lepas. Sepertinya Aini begitu rindu dengan sosok tua itu, “Inyiak, maafkan aku.” Aini memeluk tubuh bungkuk Inyiak Murai, Rinai melongo.
Rinai bingung, kenapa Ibunya sangat menghormati wanita, yang semalam tidur di dekatnya serta memberikan perhatian lebih kepadanya.
Melihat Aini memeluk Inyiak Murai, warga terlihat mulai was-was. Terdengar bisik-bisik mengenai Inyiak Murai yang selama ini mereka jadikan momok menakutkan untuk anak-anaknya.
“Untung Rinai masih hidup,” ujar seorang ibu berbaju kurung hijau, yang di iyakan oleh yang lain dengan anggukan.
“Inyiak, terima kasih sudah menjaga Rinai, dia pasti merepotkan Inyiak,” bisik Aini, sambil menghapus air matanya. Lama Aini menatap sendu wajah keriput yang berdiri tepat di depannya.
“Anak kau ini cerdas, dia tahu mau hinggap di mana. Sudahlah, kau tidak salah! Sudah saatnya semua orang tahu. Kalian tidak pantas diperlakukan seperti orang terbuang oleh perempuan jilatang itu!” Inyiak Murai menoleh sejenak kepada Ayek Malin, lelaki itu mengangguk.
Perlahan Inyiak Murai menurunkan buntalan kain yang dia bawa, kepalanya melengong. Mungkin mencari Piah, ini semua harus dilihat juga oleh wanita tersebut.
“Panggil Piah,” perintah Ayek Malin.
Pesan berantai dari mulut warga yang berdiri di depan rumah Aini, akhirnya sampai juga ke Piah yang melongo dekat dinding rumah Aini.
Mau tidak mau, Piah terpaksa membawa langkah sambil menarik kain samping yang kedodoran. Piah terlihat cemas karena yang memanggilnya adalah Ayek Malin. Tetua sukunya yang sangat disegani di kampung mereka.
“Ada apa, Angku?” Wajah Piah menunduk, setelah dia berdiri di hadapan lelaki berkopiah hitam itu.
“Ada apa-ada apa? Benar kau mengusir Aini dan Rinai?” Ayek Malin tidak mau berbasa-basi.
Piah menunduk, tapi matanya menyiratkan kebencian pada Rinai dan Aini.
“Jawab, Piah!” Piah terlonjak, dihardik Ayek Malin.
“Tidak, Ngku,” jawabnya lirih.
“Kalau tidak kau usir, kenapa Aini harus mengurus surat pindah Rinai dari sekolah?”
“Begini, Ngku. Sabtu besok Mira pulang, jadi dia yang akan tinggal di rumah papan yang dihuni Aini,” sangkal Piah.