Sebenarnya berat lidah Piah digerakkan untuk meminta maaf pada Inyiak Murai setelah apa yang selama ini dia lakukan terhadap perempuan itu. Kesalahannya mungkin lebih besar dari gunung Marapi.
Namun, karena Ayek Malin yang menyuruh, mau tidak mau Piah mendekat, walau berulang kali menyikut Nusar.
“Yang salah kau Piah. Bukan aden.” Nusar tentu saja tidak mau menemani Piah bersimpuh di depan Inyiak Murai, karena dia tidak melakukan kesalahan apa pun kepada perempuan tua itu.
“Iya, Da. Aku yang seharusnya minta maaf, baik kepada Uda, maupun pada Inyiak Murai dan yang lain," balas Piah memelas.
“Aku sudah memaafkan kesalahanmu, Piah. Tetapi untuk memperbaiki semuanya, tidak bisa hanya dengan kata-kata saja. Aku masih punya sanak saudara yang tentu ingin mendengar dan melihat kau datang mengantarkan maaf ke rumah kami.” Nusar menunjukkan kuasanya sebagai lelaki. Agar Piah bisa menghargainya, setelah selama ini perempuan itu merendahkan dan menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang suami.
“Tapi, Da!”
“Piah. Kau menuduhku selingkuh dengan Uni Aini. Sedangkan selama ini, aku begitu memuliakan dia seperti kakak perempuanku sendiri. Karena dia dan Uda Sati yang selalu memperhatikanku. Menguatkanku ketika kamu berubah seperti kanak-kanak. Padahal sudah dua orang anak yang kau lahirkan!” Nusar secara tidak langsung mengadu ke Ayek Malin.
Warga yang masih tertinggal di sana, langsung mencibir ke Piah yang memang terkenal pencemburu.
“Masalah itu, biar nanti saya yang urus, Sar. Sekarang yang terpenting, kau masih mau menerima Piah jadi istrimu.”
“Sebenarnya, kalau tidak ingat Madun. Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi junjungan Piah, Ngku.”