Pulau Timor tercipta dari cinta dan angkara sang Pencipta. Sebagai cinta, Pencipta leluasa menuangkan kecermelangan kasih-Nya dalam budaya dan orang-orang. Mereka saling berpelukan dengan alam sebagai saksinya. Cinta itu kemudian berevolusi secara vertikal dan horizontal, pada pemilik kehidupan dan kepada pelaksana hidup. Semuanya berlangsung dalam adonan, yang kemudian disebut sebagai adat istiadat. Cinta yang tertuang dalam budaya.
Namun, amarah senantiasa hadir di sana. Pulau yang terbentang dari barat daya menuju timur laut ini konon adalah tubuh naga yang sedang tertidur. Tanah kering berbatu karang menyatu dan menyerupai seperti kulitnya. Udara panas mencekam dipercaya menjadi semburan napasnya. Detik demi detik selalu terasa, meski hujan menggunduli semua kekeringan.
Di atas lengkung tubuh indah naga itu, sedang tertidur salah satu anak manusia. Seorang anak perempuan. Ia sementara berjuang melawan luapan tanah kering dan berbatu itu, sedang berusaha mengubahnya menjadi lahan para malaikat menaburkan benih surga, harus lebih subur daripada elok rambutnya yang menyamudera. Entah cacing atau buaya yang hendak disisipkan dalam namanya.