Sepuluh Tahun Silam.
Kota Kupang.
Pagi yang sibuk. Angkutan kota dengan lantangnya bersahut-sahutan membunyikan klakson. Masing-masing angkot punya bunyi klakson yang khas. Ada yang terdengar seperti terompet, teriakan manusia, maupun lolongan anjing. Semuanya berlomba saling menonjolkan keunikannya. Di pintu angkot itu para kondektur bergelantungan. Mereka menyapa para calon penumpang menawarkan jasa dengan sedikit teriakan tentunya.
Setiap angkot punya tempat tujuan masing-masing. Tujuan itu tertera dari setiap nomor angkot yang berada persis di atas atap angkot. Hampir semua orang di kota ini sudah tahu tujuan angkot itu berdasarkan nomornya.
Untuk menarik para calon penumpang, maka angkot dihias sedemikian unik. Tak pelak, berbagai hiasan tertempel sempurna di sekujur bagian angkot. Mulai dari depan, samping dan belakang serta bagian dalam. Karya seni yang dipertontonkan pada khalayak. Semuanya dihias sesuai dengan selera sopir atau pemilik angkot. Tujuannya agar terlihat menarik dan menyenangkan. Sebagai pelengkapnya, alunan musik harus terdengar, bahkan dentuman kerasnya terdengar sampai di luar. Setiap angkutan dengan gaya musiknya masing-masing. Orang-orang di kota kecil ini menyebut angkot sebagai diskotik berjalan.
Setiap penumpang tidak peduli dengan musik yang didengar dan sopir juga tidak peduli dengan adanya penumpang yang bersama mereka. Volume musik akan diturunkan apabila salah satu penumpang berani menegur si sopir. Namun itu jarang terjadi. Pagi, siang maupun malam, musik dalam angkot akan selalu mengguncang, tidak mengenal waktu. Semuanya sesuai selera si sopir.
Hal yang sama juga terjadi di pagi itu. Belasan angkutan penumpang berbaris rapi dengan musiknya masing-masing di depan sebuah gerbang kampus selebar sepuluh meter. Beberapa di antaranya menurunkan para penumpang di sepanjang trotoar itu, seperti jejeran anak ayam yang keluar dari dalam sayap induknya mencari sinar matahari.
Yang paling sibuk ialah para kondektur. Dengan bermacam penampilan dan daya tarik, para kondektur dengan cekatan menerima recehan uang seribu dan dua ribuan yang diberikan para penumpang. Jika ada yang memberi uang dengan nilai besar, maka ia harus bersedia menunggu paling terakhir. Kondektur sampai kewalahan mencari recehan sebagai uang kembaliannya.
Para penumpang pada umumnya berpakaian seragam. Merah putih, biru putih dan abu-abu putih. Terdapat juga puluhan pemuda-pemudi berpakaian putih hitam berlari kecil memasuki area kampus. Mereka adalah calon mahasiswa baru. Berpakaian putih hitam, wajah mereka putih mengkilap karena tebalnya bedak. Kontras dengan leher yang terlihat sedikit kusam, tidak kebagian bedak. Di dada mereka tergantung sebilah kertas bertuliskan nama mereka.
Para penumpang terlihat bergegas memasuki gerbang. Gerbang itu adalah satu-satunya jalan masuk ke beberapa sekolah yang berada dalam satu payung pendidikan. Mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Semuanya berada dalam satu lokasi yang sama.
Beberapa detik kemudian muncullah angkutan penumpang berwarna putih. Hiasannnya tidak kalah menarik dibandingkan dengan angkutan yang lain. Rupa laba-laba tertempel di kaca depan, kaki-kakinya menggantung di pinggir, menyatu dengan lampu hias, dan di dalam perut laba-laba itu seorang gadis kecil sedang melotot. Karya seni yang menggelikan.
Musik klasik terdengar syahdu di dalam angkutan itu. Sangat berlawanan dengan irama pop, rock n roll, disco yang selalu terdengar hampir di semua angkutan penumpang.
“Kau suka irama klasik?” tanya seorang perempuan berpakaian putih hitam di sebelah sopir. Perempuan itu memegang secarik kertas dengan seutas tali rafia di bagian atasnya. ROSA, namanya terpampang jelas pada kertas itu.
“Tidak juga. Saya hanya ingin musik yang berbeda saja di pagi hari,” lanjut sopir itu, “Kalau semua genre musik di setiap angkot itu-itu saja, berarti ada yang salah pada selera setiap orang yang mengaku dirinya sopir.” Si sopir berkata sopan, masih berusaha mencari tempat parkiran yang pas untuk menurunkan penumpang.
Rosa tidak membalasnya.
“Sebentar kau datang jam berapa?” Rosa ingin tahu.
Sopir itu sedikit melihat jalanan dan berhenti sedetik kemudian.
“Mungkin jam sepuluh. Paling lambat jam sebelas.” Sopir berpaling dan menatap wajah Rosa yang tidak berselera memakai bedak hari ini. Toh mereka juga seharian akan berjemur di panas sambil mendengarkan ceramah para senior. Penyiksaan keji yang sengaja diperhalus.
“Nanti saya tunggu di kampus.” Rosa langsung keluar diikuti senyum tipisnya ke arah sopir itu. Sopir itu membalas dengan senyuman tipis yang sama.
Rosa kemudian menjauh. Bergabung dengan barisan mahasiswa berpakaian yang sama, putih hitam.
“Pagi Lisa.” Perempuan yang dipanggil lantas berbalik. Perempuan seumuran Rosa yang sudah berbaris dalam antrean mahasiswa baru. Wajahnya kelihatan sedikit lebih putih dari lehernya.
“Pakai papan nama itu! Ini orientasi hari terakhir jadi mereka sedang periksa kelengkapan.” Lisa menyuruh Rosa yang masih memegang secarik kertas itu. Tatapan Lisa kemudian mengarah pada bagian depan pintu masuk aula kampus.
Keduanya berjalan memasuki area kampus. Mengikuti antrean.
Si sopir hanya melihatnya dari kejauhan. Hampir semua penumpang di dalam angkot itu sudah turun. Kecuali dua ibu yang duduk berhadapan sambil memegang keranjang kosong. Sopir itu hanya melihatnya dari spion kecil di bagian tengah. Mereka berbincang, entah apa. Dua buah speaker yang diletakkan masing-masing di bawah tempat duduk penumpang masih mengalunkan irama syahdu. Musik klasik si sopir terdengar dari celah-celah kaki kedua ibu.
Angkot putih itu kemudian pergi dan menghilang di tikungan.