💸💸💸
Kedua tangan Aura menyangga di meja rias. Sudah hampir 15 menit ia terdiam di sana dengan seragam yang terlihat pas di tubuhnya. Pantulan dirinya di cermin membuat Aura termenung. Ia meneliti wajahnya inci demi inci.
Mata bulat. Hidung kecil. Bibir pink alami. Alis rapi. Bulu mata lentik. Kulit putih bersih. Perpaduan yang cukup sempurna jika hanya untuk menarik perhatian laki-laki.
Bibirnya membentuk garis melengkung. Tersenyum samar. "Gue pastiin lo bakal jatuh ke tangan gue, Barra," gumamnya di depan cermin.
Suara notifikasi pesan membuat aura mengalihkan pandangannya pada meja di atas nakas. Ia mengabaikannya ketika tahu siapa orang yang mengiriminya pesan. Detik berikutnya dering telepon yang berbunyi nyaring membuat Aura berdecak kesal. Namun ketika ia melirik ponsel, tangannya segera meraih ponsel ketika nama Resa tertera di layar.
"Halo, Res. Tumben pagi-pagi telepon. Ada apa?" tanya Aura setelah mengangkat panggilan.
"Lo masih di mana? Gue nungguin lo dari tadi nggak dateng-dateng sampe rasanya kaki gue mau akaran tau nggak!" keluh Resa di seberang sana.
"Yaelahh... pagi-pagi udah ngomel aja lo," ujar Aura sambil mengoleskan lipbalm di bibirnya. "Gue di rumah."
"Ya ampun, Ra! Gue di sini rela-relain kaki gue pegel-pegelan nunggu lo, eh, lo malah masih santai-santai di rumah."
"Lahh! Lagian tumben lo nungguin gue. Ada angin apa seorang Resa rela pegel-pegelan demi guee?"
"Keputusan gue udah bulat, Ra."
"Bulat apaan? Tahu bulat kali ah."
"Gue bakal bantuin lo buat deket sama Barra. Dan gue milih buat tempur sama si Maya. Gue bakal jadi orang yang lo andalin di garda paling depan, Ra," ujar Resa dramatis.
"Lebay lo, ah. Lagian kenapa tiba-tiba? Bukannya kata lo nggak bisa bantu gue gara-gara si maya-maya itu?"
"Nggak tau gue. Mungkin gue baru dapat ilham buat balas sakit hati gue sama tuh cewek."
Aura tertawa renyah. "Haha! Iya, deh. Terserah lo," kata Aura. "Eh, btw, suara lo kecil banget sih. Biasanya udah kayak toa."
"Gue lagi nguntit si Barra ini. Dia baru dateng soalnya."
"Wahh! Gercep amat lo. Tapi nggak papa, kerja bagus. Lo emang teman gue yang paling the best, dehh."
"Iyalah. Gue kalo bantu nggak pernah setengah-setengah. Pokoknya sampe tuntas, nggak kayak lo."
"Yee... nyindir nih ceritanya...."
"Aura!" panggilan Mama Aura diiringi ketukan pintu membuat Aura menoleh pada pintu kamar yang tertutup.
"Iya, Ma!" sahut Aura. "Buka aja, nggak dikunci, kok."
Perlahan, pintu kamar terbuka, menampakan sosok wanita paruh baya dengan senyum tipisnya. "Di depan ada Marsel, tuh."
Aura terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, bentar lagi Aura keluar."
Setelah Mama Aura menutup pintu, Aura kembali menempelkan ponselnya ke telinga. "Res, udah dulu ya, gue mau berangkat sekarang."
"Oh. Oke-oke," bisik Resa dari ujung telepon.