Beda perasaan itu masih bisa diatasi, kecuali kalau kita beda dimensi.
💸💸💸
Aura menghela napas lelah. Setiap Aura memasuki rumah dari pulang sekolah, suasananya selalu sunyi. Seolah tidak ada kehidupan di rumah itu. Aura benci saat-saat seperti ini. Sendiri tanpa ada seorang pun di sisinya. Seperti biasa, Mama selalu pulang larut malam. Dan kembali berangkat saat subuh tiba.
Kata Mama, tempat kerja Mama jauh, jadi harus bangun sepagi mungkin. Aura tidak tahu pekerjaan seperti apa yang dikerjakan Mama-nya. Jika Aura bertanya mengenai pekerjaan Mama. Mama selalu bilang, 'Kamu nggak perlu tahu. Ini pekerjaan Mama. Kamu cukup belajar yang benar. Jadi anak pintar yang bisa Mama banggakan. Jangan mikirin Mama. Mama baik-baik aja.'
Kenapa Aura nggak boleh tahu tentang pekerjaan Mama? batin Aura pedih. Andai Papa masih ada, Mama nggak harus banting tulang kayak gini.
Aura berjalan menuju kamarnya dalam keadaan gelap. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur kecil dan sedikit lusuh. Ia lelah harus berpura-pura kuat. Ia muak menebar senyum. Hatinya sakit. Sakit sampai ke ulu hati. Tenggorokannya perih akibat menahan tangis.
"Papa," gumam Aura diiringi setetes air mata yang terjatuh ke telinganya. Meski Aura sempat membenci Papa-nya. Tidak menutup kenyataan, bahwa ia tetap merindukan sosok pria itu. "Aura kangen Papa."
Ponselnya bergetar pertanda panggilan masuk. Aura melihat layar ponsel. Rupanya panggilan itu dari Resa. Ia segera bangkit, terduduk di atas kasur. Mengusap air matanya, lalu mengambil napas dalam-dalam, kemudian membuangnya secara perlahan.
Menenangkan diri sejenak, berdeham untuk menetralkan suaranya agar tidak terdengar seperti orang yang baru saja menangis.
"OMEGGGAAATTT! AURA! AURA! AURA! lo sekarang di mana?"
Baru saja Aura menempelkan benda pipih itu ke telinganya, segera ia menjauhkannya saat disugukan suara toa Resa yang memekakan telinga, kemudian disusul suara datar cewek itu di ujung kalimat. "Lo tau suara lo bisa bikin telinga gue budek?"
"Udah, deh, lo nggak usah ngalihin pembicaraan. Jawab aja pertanyaan gue. Sekarang lo di mana?!" heboh Resa.
"Di rumah."
"BOHONGG!" seru Resa. "Jujur sama gue lo sekarang di mana?! Kalo perlu kirim shareloc ke gue sekarang!"
"Gue di rumah, Res. Ngapain juga gue bohong."
"Gue nggak percaya. Orang gue tadi liat lo keluar dari restoran mahal bareng sama cowok ganteng, kok!"
Berpikir sejenak, sesaat kemudian Aura menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mengenai Aura yang sedang menjalin hubungan dengan Marsel, ia memang tidak pernah memberitahunya pada Resa. Hanya orang-orang di sekolah dulunya yang tahu tentang hubungan mereka.
"Sekarang gue tanya. Itu cowok ganteng yang bareng sama lo siapa, Ra?! Siapaa?! Gebetan baru lo atau siapa?! Kenapa gue baru tauu lo jalan sama, tuh cowokkk!"
"Iya, tapi nggak usah teriak-teriak juga kali, Res. Lo kira ini di hutan."
"Tinggal jawab aja kenapa, sih? Ribet amat hidup lo," kesal Resa akibat rasa penasarannya yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Pacar gue," aku Aura ogah-ogahan.
"WHATT?! SERIOUSLY? DEMI APA LO!!" jerit Resa Lagi. "Kalo bohong, besok gue guyur pake terasi, ya lo," ancamnya.
"Iya."
"Omegatt! Terus ngapain lo ngincer Barra kalo ternyata lo udah punya pacar? Lo mau selingkuhin pacar lo itu? Gue nggak habis pikir kalo lo beneran mau selingkuh dari cowok seganteng itu, Ra. Otak lo bener-bener kurang asupan gizi."
"Ini bukan masalah ganteng atau apa. Nanti gue ceritain, deh, ya."
"Kapan?"