Tidak ada rasa yang bisa aku hantarkan, dan tidak ada cinta yang bisa aku tawarkan. Semuanya telah sirna bersama kenangan yang menyakitkan.
***
Suara tepuk tangan memenuhi ruangan itu diiringin sorak-sorai pengunjung.
"Terima kasih! Semoga hari kalian selalu menyenangkan," kata Aura mengakhiri pertunjukannya.
Aura menuruni panggung musik. Melangkahkan kakinya menuju seorang cowok yang baru saja duduk di salah satu kursi. Dari cara berjalannya terlihat anggun dan berkelas.
Kesannya saat ini sangat berubah drastis ketika bernyanyi tadi. Tatapan kagum sepertinya memang sudah tak bisa terelakkan dari pengunjung yang mayoritas para kaum adam. Tidak heran jika beberapa pasang mata terpaku mengikuti kemana gadis berparas cantik itu melangkah.
Tapi ada yang berbeda dengan raut wajahnya saat ini. Wajah itu menunjukan ekspresi yang tak bersahabat. Seperti tengah dilanda kemarahan besar. Terlihat jelas dari tatapan yang tadi riang juga teduh kini menyorot begitu tajam.
Gadis itu melangkah dengan tegas menuju sesosok cowok. Dia itu tersenyum ketika melihat Aura menghampirinya, tanpa sedikitpun menyadari kemarahan yang terpancar dari wajah gadis itu. Ada rasa bangga yang terbesit dalam hati cowok tersebut karena bisa mendapatkan gadis secantik Aura.
"Aura!"
Aura duduk begitu saja tanpa sepatah kata pun yang terucap.
"Kamu bisa nyanyi? Suara kamu bagus," puji cowok itu riang.
Aura tetap diam. Ia tak perlu bersusah payah mengeluarkan suara untuk cowok di hadapannya. Menurut Aura itu hanyalah kalimat basa-basi yang sangat bodoh. Bukankah sudah jelas bahwa Aura tadi bernyanyi. Kenapa harus membuat pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
Aura mendengus kesal. Dia menatap cowok yang berstatus pacarnya dengan tatapan tak suka.
Dasar, penipu! batin Aura.
Bisa-bisanya Aura ditipu oleh pria ini.
"Garry!"
Cowok itu, Garry, menatap Aura dengan tatapan seperti anak kecil yang diberi sebuah balon. Perasaan Aura bercampur aduk, ada rasa kesal dan juga marah terhadap Garry. Ia sudah dibodohi habis-habisan oleh cowok ini.
"Kita putus!" meski raut wajahnya terkesan dingin, tapi suaranya mengalun begitu tenang, seakan dua kata yang baru saja keluar dari bibirnya adalah suatu hal yang biasa bagi Aura. Sebenarnya Aura ingin sekali langsung menampar dan mencaci maki Garry. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukannya di tempat seramai ini.
Garry mengernyit mendengar dua kata itu terlontar mulus keluar dari bibir Aura.
"Putus?" tanya Garry mencoba memastikan bahwa telinganya sedang mendapat gangguan.
"Iya. Putus. Kita udahan," jawab Aura enteng.
"Bercanda kamu." Garry menggeleng, menganggap bahwa semua kata yang keluar dari bibir Aura hanyalah lelucon belaka.
"Gue serius!" Aura jengah melihat wajah Garry yang merasa tak bersalah sedikitpun.
Garry menatap Aura cukup lama, memastikan bahwa Aura memang sedang tidak bercanda.
"Kamu jangan aneh-aneh, deh, Ra. Kita baru seminggu jadian dan kamu putusin aku gitu aja?" ujar Garry akhirnya.
"Apa dalam pacaran ada batas waktu yang ditentuin untuk putus?" tanya Aura sarkas.
"Ya... nggak. Cuma aneh aja. Hubungan kita baik-baik aja dan nggak ada masalah sedikitpun, tapi kamu tiba-tiba minta putus. Aku rasa itu nggak masuk akal, Ra!"
Aura mendengus geli, "Apa dalam pacaran harus ada masalah dulu sebelum putus? Gue rasa nggak!"