Matrealistis

Peetarii
Chapter #4

Target Baru

Semacam ingin membuka hati, tapi terlalu takut untuk kehilangan.

💸💸💸

Hari senin adalah hari yang selalu membuat Aura badmood. Aura benci senin. Terutama upacara bendera. Huft! maaf-maaf saja, Aura bukanlah Kartini jaman Now. Aura hanyalah remaja biasa yang lebih memilih bolos daripada harus mengikuti pelajaran sejarah yang selalu membuatnya mengantuk dan tertidur, lalu berakhir mendapat omelan dari Pak Mahmudin, guru sejarah yang suaranya kayak toa. Berisiknya minta ampun.

Dan asal kalian tahu. Aura baru saja dikeluarkan oleh Pak Mahmudin, akibat tidur di dalam kelas untuk entah yang ke berapa kali.

Dan lagi, bukannya menjalankan perintah dari Pak Mahmudin untuk membasuh muka ke toilet agar rasa kantuk menghilang dengan batas waktu 5 menit saja, ia justru berbelok menuju kantin sekolah.

Aura lapar. Tadi pagi ia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan, terlebih lagi, di rumahnya tidak ada makanan yang layak untuk di makan, hanya ada tumis kangkung yang sudah basi bekas kemarin sore.

Aura menyodok kantong seragamnya. Ia mendapati selembar uang kertas dengan nominal 2000 rupiah. Aura berdecak.

Meski dengan uang 2000 tak menyurutkan langkahnya untuk membeli makanan. Aura menuju salah satu pedagang di kantin. "Bang Kantin," panggilnya.

Abang Kantin itu menoleh, lalu mengerucutkan wajahnya. "Mau ngutang lagi lu?" tanyanya. "Nggak bisa! Noh, catatan utang lu dah banyak, nggak bisa nambah lagi, kecuali lu mau bayar dua kali lipatt."

"Aelahh lu, Bang! Perhitungan benerr," kata Aura. "Lagian gue ke sini mau beli, bukan mau ngutang."

Abang kantin memandang Aura tak percaya. Pasalnya tiap kali gadis itu datang, pasti hanya meminta makan tanpa membayarnya. Gadis itu hanya menyuruhnya untuk mentotal kasbonnya. Dan Aura selalu bilang, siapa tau ada cowok baik hati yang mau membayar sisa kasbonnya.

"Kagak percayeee guee...," Kata si Abang kantin meremehkan. "Kecuali tadi malem lu jaga lilin," bisik Abang kantin sambil terkekeh geli.

Aura menganga. "Wahh, parahh luu. Lu nuduh gue ngepet, Bangkan?" Bangkan merupakan kepanjangan dari Abang kantin, panggilan Aura untuk pria paruh baya yang sudah akrab dengannya itu. "Awas ya lu, gue doain rejeki lu seret karena ngusir fakir miskin," kata Aura meninggalkan Abang kantin yang memang sedikit resek itu.

Aura berpindah tempat ke pedagang lainnya. Aura melihat-lihat jajanan yang tersedia di sana, lalu memanggil penjaga warung di sana. "Pak, uang seribu dapet apa ya?"

Bapak penjaga warung itu melongo. Jarang-jarang ada siswi yang menanyakan harga jajanan, seribu pula. Namun, tak ayal, Bapak itu memberikan pilihan. "Kalo uang seribu paling dapet bala-bala atau nggak cireng, Neng."

Aura mengangguk-angguk sambil melihat beberapa jenis gorengan di atas nampan. Ia melihat pisang coklat yang hanya tersisa satu butir di sana. "Kalo piscok berapa, Pak?"

"Kalo piscok dua ribuan, Neng."

Aura ber-oh ria. "Saya pengen bala-bala dua ya, Pak."

Lumayan buat ganjal perut, bantinnya.

Setelah menerima pesanan, Aura langsung menarik kursi di dekat sana untuk memakan bala-bala yang dipesannya. Sebenarnya ia tidak terlalu menyukai gorengan, tapi mau bagaimana lagi, masa ia mau membeli permen. Mana kenyang, yang ada perutnya tambah keroncongan.

Setelah menghabiskan kedua bala-balanya, Aura kembali berdiri dan memanggil si Bapak kantin. "Pak, saya boleh minta air minum?"

"Oh boleh, Neng boleh," kata si Bapak baik hati sambil menuangkan air putih untuknya. Aura menerimanya dan segera meneguknya sampai tandas. Ia mengembalikan gelas kosong itu sambil mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya berlalu meninggalkan area kantin.

Aura berkeliling. Berjalan ke sana kemari. Tidak menghiraukan Pak Mahmudin yang mungkin akan memberinya pidato panjang akibat bolos kelas.

Aura capek. Ia memilih berteduh, dan duduk di salah satu kursi panjang di pinggir lapangan.

Aura jadi teringat kejadia kemarin. Ketika melihat ekspresi terkejut sekaligus bingung dari Marsel saat ia bilang akan ke dokter kandungan. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut ketika cowok itu bertanya. Meski sebenarnya Aura ke dokter kandungan untuk mengantar bibinya yang sedang mengandung anak pertamanya.

Sejak pagi tadi ponselnya sudah dipenuhi notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Marsel. Namun Aura tak berniat membuka atau pun menjawab panggilan itu. Biar saja Marsel berpikiran yang tidak-tidak terhadapnya. Aura tidak peduli.

Suara bel istirahat membuat Aura menatap ke arah gedung sekolah. Terlihat para siswa berlarian keluar kelas, bahkan ada yang berkerumun memperebutkan sesuatu seperti ikan yang diberi makan.

Lihat selengkapnya