Sebelum jadi jurnalis, sebelum jadi stand-up comedi-an, saya adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang tak punya tujuan. Haha. Agak telat buat saya menemukan jawaban mau jadi apa setelah lulus kuliah. Dan, inilah cerita pencarian jawaban saya di kampus. Tapi, sebelumnya saya mau berbagi sedikit cerita saat masih berseragam abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.
Mari kita kembali pada pertengahan 1990.
Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kilogram. Dengan tinggi badan 177 sentimeter, saya terlihat kurus dan memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya semakin tak menarik. Malah, dalam foto kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, saya terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu, loh, film yang diperankan Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya saat SMA terlihat seperti Brad Pitt. Tapi, di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, melainkan sebaliknya.
Lebih dari satu tahun saya berambut cepak. Semua itu karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, organisasi ekstrakurikuler pasukan pengibar bendera (paskibra). Nah, saya bergabung bukan karena sukarela, melainkan “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas pada zaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukkan ke dua kelas khusus setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara. Proses ini dilakukan ketika kami daftar ulang di SMA, bahkan saya awalnya tak sadar jika itu untuk keperluan penerimaan anggota ekstrakurikuler di sekolah. Kenapa dimasukkan kelas khusus? Katanya, supaya kalau mau mengikuti lomba baris-berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, izinnya mudah—karena satu kelas. Pada praktiknya, tak semua yang dijebloskan ke sana mau ikut latihan baris-berbaris.
Pada 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya bertinggi badan di atas 170 cm, kecuali seorang teman, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah besar di daerah Cigombong, Sukabumi, yang sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain karena rumahnya paling besar, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.
Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi anggota paskibra.
Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor selalu latihan baris-berbaris setiap Minggu pagi. Maka, saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang, sih, kenapa dulu saya mau ya disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain. Padahal, saya juga bisa mengelak datang. Toh, ada beberapa teman yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.
Panas terik, hujan deras, kami tetap berlatih. Dan, hebatnya badan di usia belasan, daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring, tapi sungguh tahan banting.