Beberapa tahun terakhir, saya sering melihat berita di televisi soal betapa hebohnya murid SMA menghadapi Ujian Nasional (UN).
Entah berita yang melebih-lebihkan atau memang keadaannya begitu. Banyak sekali pelajar yang menangis, berdoa bersama, meminta maaf kepada orang tua supaya lulus UN. Seakan-akan itu persoalan hidup dan mati. Seingat saya, ketika saya kelas 3 SMA, tekanannya tak sebesar sekarang. Memang ada semacam peringatan dari guru bahwa kalau nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS)—dulu belum disebut UN—tidak bagus, kita tak akan lulus. Namun, tak ada acara berdoa bersama, tak ada menangis bersama, dan tak ada berita berlebihan soal pelajar menghadapi EBTANAS. Sepertinya, zaman saya SMA, kami para pelajar cenderung memilih untuk menyiapkan diri dengan belajar, bukan mengadakan acara yang heboh untuk merenungi semua kesalahan.
Sebetulnya, yang lebih menjadi perhatian saya pada tahun terakhir SMA adalah soal apakah bisa masuk ke perguruan tinggi negeri atau tidak. Soal lulus, sih, cukup yakin bakal lulus. Nah, setelah lulus, mau kuliah di mana? Maka, salah satu usaha untuk menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan EBTANAS adalah dengan ikut bimbingan belajar (bimbel). Sebetulnya, maraknya usaha bimbel menunjukkan bahwa yang didapat di sekolah belum cukup. Saya tak tahu bagaimana jam bersekolah anak sekarang, tapi zaman saya, kami sekolah Senin–Sabtu dari pukul 07.00 hingga 12.30, kecuali Jumat hingga pukul 11.30. Istirahat pukul 10.00–10.30.
Ketika saya kelas 3, di Bogor baru dibuka tempat bimbel Sony Sugema College (SSC), yang sudah lebih dulu terkenal di Bandung. Slogan mereka, “the fastest solution”, sepertinya memang menjanjikan sekali. Solusi cepat untuk menghadapi UMPTN. Mereka presentasi di kelas dan mempromosikan jasa bimbelnya. Karena kombinasi presentasi yang meyakinkan, tak ada saingan, banyak teman yang ikutan, dan demi memuaskan orang tua, saya pun ikut bimbel. Akhirnya, seminggu dua kali, setiap pukul 2.00 siang, saya pergi ke SSC yang lokasinya di dekat Terminal Merdeka, Bogor. Hanya butuh sekali naik angkot dari sekolah: angkot 03 jurusan Baranangsiang–Terminal Merdeka.
Ya, lumayan lah, kalau hari biasa uang jajan saya Rp1.300,00 (ongkos naik bus pergi-pulang Rp600,00, dan sisanya buat jajan), pada hari bimbel dapat tambahan Rp1.000,00. Dulu, harga semangkuk mi atau bubur ayam Rp250,00. Jadi, badan saya cungkring karena kurang makan. Dengan sisa uang jajan yang hanya Rp700,00, kalau dipakai untuk ongkos angkot main ke rumah teman, enggak cukup buat makan dua kali. Nah, maka dari itu, bimbel jadi menyenangkan buat saya karena dapat tambahan uang. Bukan karena tambahan pelajarannya.
Ikut bimbingan belajar memang merupakan tantangan tersendiri, tapi menurut saya kurang efektif juga dalam membuat pelajar jadi lebih pintar. Ya, setidaknya itu tak berpengaruh kepada saya. Sudah capek belajar di sekolah dari pagi sampai siang, eh, harus belajar lagi. Saya sebenarnya sudah malas sekolah sejak kelas 2 SMP, tapi karena tak tahu harus ngapain, saya belajar di sekolah demi mengisi waktu. Meskipun sudah merasa bosan sekolah sejak dini, saya tak pernah sekali pun bolos. Sejak SD hingga kuliah, saya selalu hadir di ruang kelas. Kalaupun tak masuk, itu karena memang saya sakit.
Toh, rasanya pukul 14.00 setelah makan siang lebih kondusif untuk tidur. Apalagi, ruang kelas bimbelnya pakai AC. Wah, itu sih mantap sekali untuk memejamkan mata. Maklum, ruang kelas di sekolah saya tak ber-AC, begitu pun rumah saya. Maka, ketika bertemu AC, langsung terasa mewah bak orang kaya. Kombinasi ruangan ber-AC, perut penuh, dan penjelasan guru bimbel mengenai pelajaran-pelajaran yang tak saya sukai membuat mata semakin berat. Meskipun iklan bilang, “Bila Anda ngantuk, tapi Anda sibuk tak sempat ngopi, ambil saja Kopiko,” buat saya obat ngantuk bukan permen atau minuman kopi, melainkan tidur. Mengantuk itu cuma bisa hilang kalau sudah tidur.
Nah, jadilah setiap bimbel, pada jam pelajaran pertama sebelum istirahat, saya lebih banyak tertidur di ruang kelas. Bukan apa-apa, penjelasan guru bimbel tak lebih menarik dari penjelasan guru di sekolah. Dan, saking seringnya saya tertidur di kelas, pernah satu kali, ketika mau menyenderkan kursi ke dinding, saya malah terjerembap ke belakang sehingga ditertawakan teman-teman. Tapi, demi masa depan yang saat itu masih kabur, saya tetap rajin datang ke bimbel. Lagi pula, bimbel adalah kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman dari sekolah lain. Harapannya, sih, ada perempuan cantik di kelas. Nyatanya, tak ada yang menarik buat saya. Tapi, ya, kalaupun ada yang menarik, belum tentu dia tertarik sama saya, sih. Haha.