Saya tak pernah punya cita-cita yang konsisten. Waktu SD, kalau ditanya apa cita-citanya, saya tak pernah menjawab ingin jadi dokter, pilot, atau presiden. Biasanya, kan, itu profesi yang paling sering disebutkan anak kecil. Kalau menulis biodata di buku teman (ini saya lakukan ketika kelas 6 SD karena yang lain juga melakukannya, saling menulis biodata di buku masing-masing sehingga punya biodata teman sekelas), saya menulis cita-cita: ustaz dan tentara.
Ada dua penyebab saya menulis cita-cita itu. Pertama, saya ingin jadi ustaz karena K.H. Zainuddin MZ. Pada 1980-an, kaset dakwah beliau adalah salah satu kaset paling laku dan paling sering didengarkan. Dari resepsi pernikahan hingga acara sunatan, orang memutar kaset dakwah Zainuddin MZ sebagai hiburan. Buat yang belum tahu, dakwah Zainuddin MZ itu lucunya bukan main. Selama satu jam lebih, beliau bisa berdakwah sekaligus membuat orang tertawa. Itu sebabnya saya menganggap beliau keren, lalu bercita-cita jadi ustaz. Mungkin juga karena ketika kelas 5 SD, saya juara lomba dakwah di sekolah. Tak jelas, siapa yang menyuruh saya ikut lomba waktu itu. Apakah ibu saya—yang juga guru di SD saya—atau Bapak yang melihat anaknya satu saat nanti punya potensi untuk jago bicara di depan umum. Yang jelas, bapak saya menuliskan naskah dakwahnya, kemudian saya menghafalkan dan membawakannya dalam lomba. Naskah yang dibuat bapak saya tentang cerita Isra Mikraj.
Kedua, saya ingin jadi tentara karena mereka terlihat gagah. Seragamnya begitu jantan. Dan, saya pikir, kalau saya jadi tentara, pasti tak akan ada yang mengganggu. Saya akan merasa aman dalam kehidupan.
Sayang cita-cita itu buyar ketika saya melihat John Travolta di film Grease produksi 1978. Jaket kulit, celana jins, kaus oblong, dan musik rock n’ roll merupakan kombinasi yang keren. Belum lagi, ketika SMP saya mendengarkan Iwan Fals dan jatuh cinta pada musiknya. Saya ingin jadi musisi. Saya ingin jadi penulis lagu yang bagus, seperti Iwan Fals. Saya membayangkan diri saya manggung, bermain gitar, dan dielu-elukan banyak orang.
Maka, saya pun belajar memainkan gitar. Sebenarnya, Ade Bayu Indra, alias adik saya lah yang membeli gitar akustik. Saya tak pernah bertanya kenapa dia meminta Bapak untuk membelikan gitar itu. Saya juga tak pernah melihatnya bisa memainkan gitar. Gitar itu tergeletak di rumah, tanpa disetem, menunggu untuk dimainkan, tapi tak ada yang bisa memainkannya. Saya lupa kapan tepatnya mulai mencoba belajar gitar. Mungkin kelas 1 atau kelas 2 SMA. Bermodalkan buku cord gitar, saya coba-coba memainkan kunci standar. Kunci C, D, E, atau G sih masih gampang. Tapi, ketika mencoba kunci F yang melibatkan kombinasi jari yang sangat sulit, di situ saya mulai kesal dan menyerah.
Belum lagi, suara gitar saya terdengar fals. Saya, Adik, maupun Bapak sama-sama tak tahu cara menyetem gitar. Maka, saya jadi frustrasi belajar gitar. Kalaupun saya bisa memainkan gitar untuk lagu yang kuncinya standar, tak terdengar merdu. Suara yang keluar selalu fals hingga akhirnya saya kesal dan memutuskan tak mau lagi belajar gitar. Jari sakit karena kapalan, gitar tetap fals, dan kunci F yang susah dipraktikkan adalah penyebab saya berhenti belajar gitar.
Sebelum gitar, ketika SD, saya belajar alat musik tiup yang disebut recorder. Entah kenapa disebut begitu, padahal berupa suling dari plastik dan bermerek Yamaha. Itu alat musik yang wajib dipelajari ketika SD. Alat musik yang siap menampung air liur. Kalau sudah dimainkan berkali-kali, sulingnya harus dikibas-kibaskan agar air liur yang menumpuk di dalamnya keluar. Seminggu sekali suling itu direndam di air hangat dengan harapan kumannya mati. Lagu yang waktu itu kami pelajari adalah lagu wajib nasional yang saya masih ingat nadanya sampai sekarang:
Do Re Mi Fa Sol Mi Do. La Do Si La Sol. Fa La Sol Fa Mi Do. Re Fa Mi Re Do.
Do Re Mi Fa Sol Mi Do. La Do Si La Sol. Fa La Sol Fa Mi Do. Re Fa Mi Re Do.
Fa Mi Fa La. Sol La Sol Mi Do. Mi Re Fa Mi Re Do. Fa Mi Fa La. Sol La Sol Mi Do.