MAUERBAUERTRAURIGKEIT

KimLia
Chapter #1

BAB III: MENJEMPUT

“Sa, jelasin ke Abang sekarang.”

Abang membalikkan badan, melihatku dengan sinis. Bi Inah menautkan alis, bingung apa yang terjadi barangkali.

Aku tidak ingin tertangkap basah dengan mudah.

“Maksud Abang apa?” tanyaku dengan ekspresi santai.

Abang menghela napas, tidak biasanya aku berbohong. “Apa yang dibilang Bi Inah tadi? Jelasin ke Abang siapa yang udah nganter kamu? Jangan ngeles lagi.”

Aku melemaskan bahu, bersungut dalam hati. “Tapi jangan marah, ya?”

“Iya, gak marah.” Namun, suaranya penuh penekanan.

“Serius, ya?” Aku memastikan.

“Iya, Clarissa Audrey.”

Oke, itu sudah cukup. Dia pasti tidak akan marah sebab menyebut lengkap namaku. Abang menanti sambil berkacak pinggang. Atmosfer yang sedari tadi mencekam tidak sepenuhnya menjadi hangat hanya karena Abang berkata lembut kali ini.

Satu, dua, tiga ....

Aku sungguh gugup.

“Tadi aku dianterin sama kenalan.”

“Kenalan apa?” Abang menuntut jawaban lebih.

“Ya, pokoknya cuma kenalan.”

Abang menyahut. “Namanya siapa?”

Bi Inah yang memperhatikan menggaruk kepala melihat perdebatan kecil kami. Setelah meletakkan nampan di meja, dia bergegas akan pamit.

“Ah, Bi Inah gak paham kalian ngomong apaan. Bi Inah mau langsung ke dapur aja,” ucap Bi Inah yang siap meninggalkan kami, tapi Abang menahannya.

“Bi, jelasin gimana ciri-ciri cowok yang nganter Risa tadi.”

Mataku melebar, tidak bisa mengatupkan bibir. “Bang, kok sampe segininya? Yang penting ‘kan jiwa ragaku masih menyatu.”

Abang menatapku tanpa bekedip, membuatku bergidik. “Jangan banyak tanya, ini semua demi kamu, Sa.”

Aku tertegun, mencoba mencerna perkataannya. Demi aku? Apa artinya aku tidak boleh dekat dengan laki-laki? Begitukah?

Semua orang pun tahu itu hal yang kurang masuk akal, tapi sosok itu, yang berdiri dihadapanku ini ingin mematahkan pikiran orang-orang.

“Jangan dekat laki-laki itu lagi selain Abang,” tegasnya menatapku, lalu mengarahkan pandangan kepada Bi Inah. “Kasih tau aku ciri-cirinya, Bi.”

Tidak pernah aku melihat Abang seserius ini kecuali ketika dia menyambut Ayah datang kemarin. Aku tahu, sedang ada yang tidak beres dengannya. Mungkinkah karena kenyataan bahwa dia bukan anak kandung Ayah? Ah, bukan waktu yang tepat untuk bertanya.

Setelah mendapatkan informasi dari Bi Inah. Abang melirikku sebentar, lalu beranjak dari tempatnya berdiri menuju kamarnya di lantai dua. Derap langkahnya bak mengawasi, sangat dingin dan keras. Aku menoleh, menampaki bayang laki-laki tegap itu.

Bi Inah duduk tidak berjarak. Dia mengusap pelan bahuku, dan tidak ada kesal yang kutujukan padanya meski sudah mengatakan hal sebenarnya. Aku menyayanginya, seperti orang tua sendiri sebab sejak kecil dialah yang merawatku.

Aku menghela napas pelan. Tangan terulur meraih remote televisi, mengganti channel-nya. Mama di dalam sana jelas tidak bisa melihat atau mendengar, tapi aku merasa risi dia menyaksikan perdebatan kami sejak tadi.

“Abang lelah, Sa. Dia cuma belum menerima. Gak papa kalau punya teman laki-laki.” Bi Inah seperti paham kegundahanku.

Teman? Aku tidak pernah merasa Abian adalah temanku. Memang aku punya teman laki-laki, dan hanya dua yang kuakui, itu pun Abang tidak tahu.

Pertama, Kelvin. Abang kenal dia, tapi tahunya sudah kuputuskan hubungan dengannya. Kedua Dafa dari kelas yang sama seperti Abian, kenal karena pernah ikut lomba bersama.

"Abang itu orangnya perhatian, Risa."

Dia juga tampan.

Lihat selengkapnya