Aku menahan napas karena gugup. Jelas sekali ada orang di luar sana.
Abang mengintrupsi Bi Inah agar membuka pintu, tapi aku lebih sigap mendahului. Tentu saja aku tidak ingin Abang tahu siapa yang berkunjung sepagi ini, apalagi kalau itu adalah laki-laki.
Ya, yang datang memang laki-laki.
"Oh, selamat pagi, Risa. Tuan Billy ada?"
Aku bersungut di dalam hati ketika membuka pintu. Orang itu jelas bukan Abian, melainkan sekretaris Abang.
Aku tersenyum sembari mengangguk, memberi ruang lebih banyak dengan menyingkir dari ambang pintu mempersilakan Pak Beno masuk.
"Ada apa sampai datang ke mari?"
Ketika aku menoleh, Abang sudah ada di sampingku. Aku tidak langsung beranjak, malah lebih intens memperhatikan pembicaraan keduanya.
"Saya pikir Tuan belum membaca pesan saya. Pagi ini Ketua datang berkunjung ke perusahaan," ucap Pak Beno yang membuat ekspresi Abang beubah drastis.
Tentu saja aku paham arti dari 'ketua' yang di maksud Pak Beno.
"Mau apa Ayah datang ke perusahaan?" alis Abang bertaut, kupikir dia tidak senang dengan pernyataan barusan.
"Saya pikir ada sesuatu yang Ketua rencanakan. Kapan Tuan akan ke perusahaan?"
Sekilas Abang melirikku. "Pak Beno silakan duluan ke perusahaan, bilang saya akan menyusul segera. Saya mau mengantar Adik saya dahulu."
Laki-laki paruh baya itu manut setelah mengangguk. Lekas dia menyeret langkah menuju mobil hitam yang terparkir rapi di depan rumah kami, bergantian dengan mobil putih yang berhenti.
Aku menantikan siapa orang yang akan keluar dari sana. Namun, ternyata sebuah kesialan mengharapkan itu.
Nekat sekali ....
Sesaat mobil Pak Beno meninggalkan halaman kami, Abian sudah berdiri di teras. Aku tahu tadinya Abang sudah akan bersiap-siap masuk, tapi mendadak tertahan karena laki-laki yang ada dihadapanku ini.
"Selamat pagi, Risa. Gue udah bilang kalo bakal jemput lo. Tapi gue gak nyangka lo udah siap aja," sapa Abian hangat, membuatku melirik ke samping. Abang terlihat memperhatikan gerak-gerik Abian, menatap penuh selidik.
Abang berdeham, lalu menoleh. "Jelasin ke Abang," pintanya.
Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Ditambah lagi kini detak jantungku berdegup tidak wajar.
"Jelasin," kata Abang lagi.
Alis Abian bertaut ketika melihat Abang. Tidak tampak raut terkejut di bola matanya. Dia malah bertanya sambil menuding.
"Dia siapa lo, Sa? Pembantu?"
Aku menatap nyalang Abian sambil mengepalkan tangan. "Gue bilang jangan datang! Kok lo masih datang, sih!"
Buru-buru aku menyambar lengan Abian, mengusirnya. Namun, dengan cepat dia menepis.
"Lo ini kenapa, sih?! Gue di sini mau ngejemput lo bukan mau apa-apain lo!" bela Abian tidak terima.
Aku terus menyuruhnya pergi hingga Abang dengan tangan terlipat berseru, "diam kalian!"
Tidak biasanya Abang menaikkan suaranya ketika berbicara. Aku tergugu, tubuhku menegang.
"Sa, cepat ambil tas kamu, Abang yang antar."
Aku mengangguk, segera masuk ke dalam rumah mengambil tas di meja makan. Sempat kulihat Bi Inah di ruang tamu, sepertinya dia tahu semua perdebatan kami.
Segera aku menghampirinya. Bi Inah nampak terkejut saat aku mendekat dan menjulurkan tangan.