Mauliate Gendis

Fitri Handayani Siregar
Chapter #2

#2 Sipirok, Aku Datang

Perjalanan menuju ke tempat ku mengabdi di Sipirok tidak lah mudah, aku terlebih dahulu harus naik pesawat dari Djokja menuju Medan kemudian lanjut dengan bus kecil menuju Sipirok, perjalanan ku mungkin sekitar seharian penuh atau juga bahkan lebih. Perjalanan terlama yang pernah aku jalani dan bapak. Sepanjang perjalanan dari Medan menuju Sipirok aku melihat bapak yang tertidur pulas di sebelah kursi ku. Beruntung nya aku masih memiliki orangtua lengkap, Ibu dan bapak ku dua – dua nya masih sehat dan lihat saja hari ini bapak yang menemaniku di perjalanan sejauh ini.

Ibu dan Bapak sama – sama guru SD di desa ku, beberapa tahun yang lalu setelah pensiun mereka memilih untuk bertani dan berternak, mereka tidak mau menghabiskan masa tua nya hanya mengharapkan uang pensiun dan tidak berbuat apa –apa. Kami anak – anak nya juga sudah melarang niatan bapak dan ibu waktu itu, kami ingin di hari tuanya bapak dan ibu bisa menikmati jeripayah pencarian nya tanpa harus susah – susah berkeja lagi di sawah dan ladang nya. Dengan uang pensiun yang mereka terima tiap bulan itu sudah lebih dari cukup untuk hidup mereka berdua.

Tetapi pola pikir bapak dan ibu tidaklah sama dengan orang – orang kebanyakan. Mereka ingin sampai nanti Allah takdirkan mereka sudah tidak ada lagi di dunia ini, kebaikan mereka masih tersisa lewat apa yang mereka kerjakan saat ini. Mulia sekali keinginan orangtua ku ini. Aku menatap wajah bapak ku yang sudah termakan usia, kerutan di wajah nya sudah semakin banyak, dan rambutnya hampir sudah memutih semua karena uban.

“Nduk, kira – kira berapa jam lagi biar sampai ke Sinirok itu..?” tanya bapak yang sepertinya sudah bangun dari tidurnya. “Sipirok pak.” Aku membenarkan ucapan bapak yang salah menyebutkan nama daerah tujuan kami. “hempp, kalau dari maps ini sih sekitar enam jam an lagi perjalanan pak. Bapak capek ya..?” tanya ku memastikan kenapa bapak menanyakan berapa lama lagi perjalanan kami menuju Sipirok. “terus kalau bapak bilang capek, kamu mesti ngajakin bapak pulang kan, kamu bakalan bilang gini ke bapak, liat kan pak jauh banget kan. Ndis...ndis bapak ini sudah hafal lagu lama mu.” aku menatap bapak dengan dahi yang mengernyit dan bibir yang sengaja ku tarik bagian kiri atas nya sembari memukul pundak bapak pelan.

“Ihhh, bapak.. Ndis itu udah dewasa pak sekarang, mosok udah sejauh ini mau pulang.” Aku meyakinkan bapak dengan seyakin – yakin nya. Tapi tatapan bapak lagi – lagi meragukan ku. “nanti kalau sudah dekat sekira sejam lagi kamu bangunin bapak ya.” Bapak membalikkan badan nya dan memilih untuk melanjutkan tidur nya. Aku yang sejak tadi tidak bisa memejamkan mata barang semenitpun melihat sekeliling ku yang mungkin tujuan mereka juga ke Sipirok sama sepertiku. Ku dengar baik – baik kata demi kata yang mereka ucapkan satu sama lain. Aku berusaha menebak bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan itu, tapi tak satupun dapat aku mengerti. Apa ini bahasa batak ya..? tanyaku dalam hati. Gawat, aku mulai berpikir jika bahasa akan jadi salah satu kendala berarti nantinya. Tapi semoga saja tidak begitu, karena aku cerdas secara verbal linguistik. Kemampuan berbahasaku sangat baik menurut score tes IQ ku waktu SMA dulu.

Tidak mungkin untuk mundur kami sudah datang sejauh ini. hufttt, semoga saja nanti aku cepat dapat beradaptasi dengan mereka semua disana, baik suasananya, cuacanya, makanan nya, orang – orang nya, semua yang ada disana lah pokok nya. Kantuk ini akhirnya datang juga, mata yang sejak tadi enggan menutup sekarang tak kuasa ku tahan lagi. Ku sandarkan kepala ku pada bahu bapak dan ku tutup mata ini perlahan. Bahu ini adalah bahu paling nyaman yang pernah kusandari sejak masih kecil dulu. Meskipun bapak dan ibu sibuk bekerja sebagai guru di desa kami.

Mereka selalu ada waktu untuk menemani kami bermain, belajar dan bertumbuh sampai dewasa seperti sekarang bahkan sampai ke tiga kakak perempuan ku menikah dan punya anak masing – masing. Kelak jika aku jadi orangtua aku ingin menjadi orangtua seperti ibu dan bapak ku, yang tidak pernah mendikte anak – anak nya akan sesuatu tetapi mereka mencontohkan perbuatan baik itu satu per satu yang bisa kami contoh dan teladani langsung dari apa yang kami lihat sehari – hari.

“Nduk.... nduk bangun..!” bapak membangunkan ku yang rasanya baru saja terpejam, belum lelap tapi sudah harus bangun, aku menggerutu dalam hati. “bangun, itu kernet nya bilang Sipikok sudah sampai.”  Aku tersenyum dan segera membelalak kan mata blok ku ini ke arah bapak. “Sipirok pak.” Lagi – lagi aku membetulkan pengucapan bapak yang salah bahkan setelah di ucapkan berkali – kali. kami berhenti di depan lapangan sepertinya ini pusat desa nya, seperti pasar pada umumnya di desa.

“Pak, ini alamatnya SMA Negeri1 Sipirok, hemp... Endis tanya dulu ya ke orang – orang yang jualan disini, ini masih jauh atau sudah dekat, dan ada tempat kos –kosan atau penginapan gak di sekitar sini.”  Ku biarkan bapak duduk di dekat lapangan di depan pasar itu dengan tas koperku di hadapan nya. sementara itu aku bertanya kepada penduduk setempat agar dapat menginap malam ini sebelum dapat tempat tinggal yang cocok yang tidak terlalu jauh jika jalan kaki dari tempat tinggal ku menuju ke sekolahan tempat ku nanti bertugas.

Lihat selengkapnya