Bu Sormin meminta anak nya untuk membawakan tas koper ku ke kamar yang aku akan tempati entah untuk berapa lama. Semoga saja teman sekamar ku bukan tipe orang yang tidak ingin ku kenal di perantauan ini, semoga saja semuanya seperti yang aku harapkan dipertemukan dengan orang – orang baik disini. “terimakasih..” ia hanya diam saat aku mengucapkan terimakasih karena sudah membawakan tas ku ke kamar.
Baik lah, baik aku tidak akan membuatnya kesal lagi, jangan kan membuat nya kesal aku tidak akan mau lagi berbicara sepatah kata pun dengan anak semata wayang bu Sormin ini. Entah apa masalah nya sampai – sampai ia begitu jutek begini, apakah ia juga bersikap sama dengan guru – guru yang tinggal di rumah ini ya..?. Aku penasaran dan berharap mereka segera pulang dari bepergian dan segera mendapatkan jawaban nya.
Perjalanan panjang yang ku tempuh bersama bapak sungguh sangat melelahkan. Aku memilih berbaring lebih dulu di ranjang ini setelah mandi dan bersih – bersih badan tentunya. Mata ku tidak bisa diajak kompromi lagi untuk menunggu sampai teman sekamar ku datang. Aku mendengar bapak masih berbincang dengan Raja menyebalkan diluar sana, yang sikap nya berbeda sekali jika ia berhadapan dengan ku, jangan kan untuk bersikap ramah untuk terlihat tidak mengesalkan saja ia tidak bisa, tapi itu bukan masalah besar karena ia jarang ada di rumah ini dan itu artinya kesempatan ku untuk bertemu atau bertatap muka dengan lelaki ini sangat kecil. Syukurlah satu alasan yang membuatku tidak betah disini sudah ku coret dari daftar.
Ku dengar adzan subuh berkumandang, ada suara berbisik di telingaku yang mencoba membangunkan ku dari tidur yang begitu nyenyak ini, lelah beberapa jam di perjalanan membuat ku agak sulit untuk beranjak dari kasur empuk ditambah lagi suasana dan udara sejuk persis seperti di kampung ku, tapi suara itu lagi –lagi berusaha untuk membangunkan ku. Pelan – pelan ku buka mata dan terlihat perempuan se usiaku yang tersenyum sesaat setelah aku membuka mata dan menatap nya. “ayo bangun sudah subuh..” pasti dia adalah teman sekamar ku yang bernama Romaito. Sangking kantuk ini begitu merasuk dalam sampai – sampai aku tidak tahu kalau Romaito sudah tertidur di sebelah ku malam tadi.
Aku mengusap mata ku dan perlahan bangkit lalu duduk di tepi tempat tidur itu. “maaf kalau aku lancang main tidur aja gak nunggu kamu pulang dulu, ngantuk banget soalnya perjalanan nya hampir seharian setengah lebih rasanya capek banget.” Aku berusaha menjelaskan pada Romaito agar ia tidak berpikir kalau aku adalah teman sekamar yang lancang dan menyebalkan. “santai aja, kenalkan aku Romaito biasa di panggi Mai.” Ia lebih dulu memperkenalkan dirinya pada ku. “aku Gendis, bantuin aku ya buat bisa beradaptasi dengan cepat disini.” Ia mengangguk dan segera menyuruhku untuk menunaikan sholat subuh berjamaah di musholla yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah. Sebelum keluar kamar aku mengingatkan Romaito yang sepertinya lupa untuk memasang jilbab nya. “kamu belum pakai jilbab Mai, anak nya bu Sormin lagi ada disini si Raja.” Aku mengingatkan jika ada Raja disini dan ia tersenyum ke arah ku. “aku katolik Ndis.” Jawab nya.
Tapi tadi ia membangunkan ku untuk segera menunaikan solat subuh, dan ternyata ia katolik. Aku menatap nya dengan perasaan bersalah dan tidak lupa meminta maaf sebelumnya yang di jawab dengan pelukan hangat dari Romaito teman sekamar ku itu, sepertinya kami akan menjadi teman baik ke depan nya. “aku minta maaf ya Mai, aku gak tahu kalau..” belum sempat aku menyelesaikan kalimat ku Romaito menyuruh ku bergegas agar tidak ketinggalan rombongan dari rumah ini yang akan menuju musholla dengan berjalan kaki.
Sepulang dari musholla aku kembali berkenalan dengan dua orang lagi guru yang juga tinggal di rumah ini. Siska dan Anny mereka berdua sama – sama guru matematika. Sedangkan Romaito adalah guru biologi di sana. Hanya aku guru bimbingan konseling disini yang sudah diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) ke tiga teman baru ku itu mereka masih honor ada yang sudah dua tahun dan bahkan empat tahun.
Hari ini bapak akan kembali ke Djokja, aku tidak ikut mengantar bapak ke stasiun bus yang ada di Sidimpuan, Raja yang mengantarkan bapak kesana. Sebelum berangkat ke sekolah untuk hari pertama mengajar, aku sempatkan memeluk bapak dan berpamitan, sebelum bapak berangkat beliau berpesan yang kali ini membuat ku terenyuh dan meneteskan air mata. “Bapak titipkan amanah ini di tangan mu Ndis, kamu tahu amalan yang tidak putus sampai nanti kamu sudah gak ada..? salah satu nya ilmu yang bermanfaat. Semoga amanah ini bisa kamu jaga nduk. Sebarkan manfaat itu disini.” Bapak memeluku ku yang tak kuasa menahan tangis.
Pesan dari bapak tadi itu tidak hanya sekedar pesan dari ayah ke anak nya, tetapi lebih tepatnya dari guru ke anak didik nya untuk dapat meneruskan tongkat estafet perjuangan di bidang pendidikan ini setelah ia serahkan kepadaku. Tanggung jawab yang ku emban semakin berat rasanya. Semoga Allah mudahkan hari – hari yang akan aku lalui disini. Sepanjang jalan menuju sekolahan yang bisa kami tempuh ber empat dengan berjalan kaki itu aku terus – terusan memikirkan bapak yang pulang ke Djokja sendiri. Semoga bapak selamat pergi dan sampai kembali di sana berkumpul dengan ibu dan cucu – cucu nya.