Sepertinya luka bathin yang di alami oleh Raja begitu kompleks, sampai – sampai meski perempuan itu tidak pantas di kenang, ia tetap bersemayam menjadi dendam di hati nya, yang membuat lelaki ini begitu membenci makhluk bernama perempuan. Aku tidak berani membuka pembicaraan lagi setelahnya. Aku takut akan membuat situasi canggung ini menjadi lebih canggung dari sebelumnya. “Apa kau punya pengalaman yang sama dengan lelaki Ndis..?” tanya nya padaku yang bingung harus bilang apa karena tidak ada lelaki dalam kehidupan ku selain bapak. Cinta atau apalah itu bagiku sampai hari ini hanya semu, kalau menyukai lelaki tentu saja pernah, tapi kalau yakin rasa suka itu adalah cinta aku belum pernah merasakan nya sejak aku bisa mengingat pernah menyukai lelaki saat aku masih kuliah dulu.
“Hem... aku gak pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta sama laki – laki, kalau sekedar suka ya pernah lah tapi ya gak sering juga. Jadi ya aku gak punya pengalaman kayak gitu sih sampai – sampai aku harus menghakimi satu gender hanya karena satu orang yang pernah buat salah ke aku.” Aku menjelaskan situasi yang sebenernya lebih menyinggung prinsip nya secara personal. Kami masih dalam posisi berhenti di tepi jalan, dan belum melanjutkan perjalanan pulang setelah mengantar ibu tadi ke rumah sakit, yang ternyata di pukuli oleh suaminya karena membiarkan kehamilan nya, suaminya tidak ingin menambah anak lagi. Begitu penjelasan yang aku dapatkan dari Raja. “Jadi, setelah mendengar dan melihat situasi tadi kau tidak berpikir kalau semua laki – laki seperti suami ibu tadi.?” Raja seperti ingin melihat bagaimana aku menyikapi persoalan yang terjadi hari ini.
“Kau bertanya seperti itu dari sudut pandang keilmuan yang aku pelajari atau sebagai pribadi..?” aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang memang sudah disiapkannya, ia seperti sengaja menanyakan ini persis setelah selesai menceritakan apa yang terjadi diantara suami dan istri tadi. “Aku ingin jawaban keduanya dari sudut pandang keilmuan yang kau pelajari dan pendapatmu sebagai perempuan yang menyaksikan apa yang terjadi tadi..” Meski Raja ingin melihat pendapatku atas situasi ini aku meyakini bahwa sebenarnya ia hanya ingin melihat sudut pandang ku sebagai perempuan dalam menilai lelaki.
“Menurut ku dari sudut pandang apapun tetap yang dilakukan bapak tadi itu salah, pemicu nya ya tuntutan ekonomi punya anak lagi berarti tanggung jawab baru dan pengeluaran yang lebih banyak dari sebelumnya. Dan kalau kau bertanya, apa setelah melihat itu aku jadi trauma dengan lelaki, ya tentu saja tidak karena aku punya sosok bapak yang kasih bukti kalau tidak semua laki – laki itu belangsak, kau juga punya ibu kan yang tidak mencerminkan perempuan yang luka nya masih kau pelihara sampai hari ini.” Entah mendapat ilham darimana aku sanggup berkata demikian pada Raja. Ia yang mendengar jawaban ku atas pertanyaan nya tadi lebih memilih diam dan melanjutkan perjalanan kami untuk segera pulang sampai ke rumah.
Itu adalah kalimat terakhir kami di mobil, sesampainya dirumah kami hanya diam membisu dan sibuk dengan kegiatan masing – masing. Aku yang harus masuk pagi esok hari karena menggantikan teman ku yang berhalangan mengajar memilih untuk beristirahat.
Pagi – pagi sekali aku sudah berangkat ke sekolah, aku tidak mau memberi contoh yang tidak baik pada murid – murid ku. Guru adalah role model untuk mereka meski hanya menggantikan satu jam pelajaran biologi di kelas XII IPA I, aku tidak ingin terlambat, aku tidak ingin murid – murid ku yang lebih dulu ada di kelas. Aku ingin melihat mereka satu per satu, siapa yang lebih dulu datang dan siapa yang datang di menit – menit terakhir saat bel masuk berbunyi. Di teras ku lihat Raja sedang bersiap – siap untuk pergi bertugas ia memakai seragam lengkap dengan sepatu PDH nya, terlihat gagah sekali ia kali ini. Rangsel hijau itu disandang nya di bahu sepertinya ia akan bertugas untuk waktu yang lama, karena rangsel itu terlihat penuh dan berat saat ia menyandang nya.
“Pagi sekali kau berangkat Nids..?” Aku yang tidak menyangka akan di tegur nya terlihat sedikit kebingungan karena sepatu ku ada di bawah tempat duduk nya. Aku tidak ingin terlambat pagi ini. “Ohh iya aku menggantikan satu guru yang berhalangan hadir hari ini, boleh aku minta tolong sepatu ku di bawah situ.” Aku menunjuk sepatuku yang ada di bawah kursi nya. Dengan santai ia mengambilkan nya untuk ku, aku sedikit meragukan sikap nya barusan. Kenapa pagi ini ia terlihat bersahabat ya. “Ohh iya makasih.” Aku duduk di kursi teras tepat di sebelah nya sambil berusaha memakai sepatu ku yang hak nya tidak terlalu tinggi, karena aku harus berjalan kaki mendaki menuju sekolah. Ini adalah salah satu sepatu yang bisa ku andalkan.