Sudah sebulan lebih Raja belum kembali ke rumah ibu nya sejak terakhir ia mengantar ku pagi itu ke sekolah, begitupun gossip yang di hembuskan oleh kak Nur pada seisi sekolah sudah mulai mereda bahkan sepertinya mereka mulai lupa soal hari itu. Rindu...???? yaa tentu saja tidak..! ini hanya sekedar rasa penasaran ku saja mengapa Raja tidak muncul lagi setelah sebulan lebih, apakah tugas nya benar – benar menyita waktu nya ataukah memang ia tidak ingin pulang bertemu dengan ku. Tapi, apa peduli ku seharusnya aku senang karena tidak lagi harus berhadapan dengan lelaki yang menurut ku terlalu lama berkabung untuk luka yang sengaja di rawat nya baik – baik, dan lantas ia menyalahkan luka itu pada orang lain yang tidak tahu menahu.
Di sekolah pun tidak banyak yang berubah, aku baru saja memulai program design project yang ku canangkan waktu itu, dari sekian ratus murid yang terdaftar aktif di sekolah itu tidak lebih dari 15% nya saja yang peduli dengan program yang baru ku canangkan. Alasan mereka beragam mulai dari tidak bisa membagi waktu sesaat setelah pulang sekolah karena harus membantu orang tua mereka di ladang atau menjaga adik – adik mereka yang di tinggalkan oleh orangtua nya bertani sampai dengan alasan tidak mengikuti program itu karena di rasa akan sia – sia saja, mereka tidak tahu bakat yang mereka punya dan tidak punya mimpi besar seperti yang lain nya. Tujuan mereka hanya satu dapat menyelesaikan sekolah nya dan bekerja di kota untuk dapat mengirimi orangtua mereka uang sama seperti pendahulu senior – senior nya yang telah dulu melakukan hal yang sama selama bertahun – tahun. Hanya sedikit yang mampu baik dari segi finansial dan kompetensi yang melanjutkan ke bangku kuliah.
Pemikiran yang sangat butuh di koreksi kalau menurut ku pribadi, mimpi itu milik siapapun yang masih bernafas alias hidup, terlepas dari ia sempurna atau tidak secara fisik, kaya atau tidak secara materi, berpendidikan atau tidak secara kompetensi atau apapun yang menjadi simbol dalam dunia ini, itu hanya sekedar simbol saja kaya, miskin, well educated atau hanya sekedar tamat sekolah dasar. Yang membuat seseorang berharga menurut ku adalah sebesar apa kontribusi nya untuk hidup ini bagi orang lain. Hal ini lah yang akan aku coba gaungkan pada sekian ratus murid di sekolah ku. Jangan pernah takut untuk bermimpi, tapi takut lah jika kau tidak punya mimpi itu sama saja seperti kau hidup tetapi tidak punya tujuan.
“Hei... Hp mu bunyi itu, melamun ya..?” Mai mengagetkan ku yang masih duduk di ruang piket setelah kelas konseling ku selesai dua jam yang lalu. Aku lihat di layar Hp tertulis ibu. Tumben ibu menelepon ku di jam – jam ini, biasanya ibu akan mengirimkan pesan terlebih dahulu, jika aku membalas pesan nya baru ibu akan menelepon ku kemudian. Sepertinya ini cukup penting atau memang penting, segera ku angkat telepon ibu.
“Assalammualaikum Nduk..? Sehat..?” terdengar suara ibu ku di telepon sedikit berbeda dari biasanya kali ini suara nya agak sedikit parau. “Waalaikusamlam bu, alhamdulillah sehat..? ibu sama bapak gimana..?” aku mulai mengkhawatirkan mereka berdua yang memang usianya sudah tidak muda lagi. “Alhamdulillah ibu sehat, bapak mu juga Ndis... kamu sibuk ta...? Yo,,, kalo sibuk nanti saja ibu telepon lagi..” sepertinya ini lumayan penting sampai – sampai ibu tidak mau merusak konsentrasi ku jika saja aku sibuk saat ini. “Gak kok buk.. opo ta buk..? Ndis jadi deg – deg an e..? penting...? banget...?”
“Ya, di bilang penting yo ndak juga, tapi di bilang ndak penting Yo penting Ndis..” Ahhh ibu, semakin membuat ku tidak sabar mendengar kalimat selanjutnya. “Opo ta buk..? Ndis jadi gimana gitu..?” sambil mengelus dada aku berharap apa yang nanti akan di sampaikan oleh ibu adalah berita yang baik, atau kalau tidak baik ya gak jelek – jelek banget juga.
“Itu anak e pak kades, dateng ke sini kemaren malem nanyain kamu ke bapak mu. Katanya kalau kamu siap dia juga siap.” Aku sudah mulai paham alur cerita ini akan kemana. “cep,,, Ndis kira opo gitu buk. Ndis belum mau menikah dalam waktu dekat ini. Ndis masih ada beberapa impian yang mau ndis capai buk..” aku langsung menolak lamaran tidak resmi itu tanpa basa –basi. Untuk saat ini pernikahan bukan jadi prioritas utama ku, aku ingin betul – betul dapat mengabdikan apa yang sudah aku pelajari selama ini di sekolah dimana aku mengabdi. Aku harus membuat anak – anak petani itu berani untuk menggantungkan mimpi mereka di langit paling tinggi.
“Impian opo ta Ndis...? jangan ngaco loh kamu. Jangan mikir bakal mundur terus mau mengejar mimpi yang lain.” Ibu ku yang sudah traumatik mempunyai anak perempuan yang tidak tetap pendirian sepertiku mulai curiga jika mimpi itu berhubungan dengan rencana yang sudah aku atur sedemikian rupa untuk dapat kembali mengejar mimpi lain bukan sebagai guru BK seperti yang selama ini aku jalani. “Ihhh, ibu suudzon ke Ndis, Yo gak lah buk malah Ndis itu disini pengen anak – anak didik Endis berani bermimpi meski hanya tinggal di desa dengan orang tua yang bekerja sebagai petani.” Ibu tidak mengomentari apa yang barusan aku sampaikan, ibu hanya diam saja. “Buk.... Ibuk... Haloo...” aku memastikan ibu masih tersambung telepon nya. “Ndis, sehat – sehat yo Nduk, ibu doakan semoga impian mu segera Allah ijabah, murid – murid mu berhasil buat bangga orangtua nya.” Suara ibu semakin lirih sepertinya menahan haru, mungkin ibu tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar nya.