Sebaiknya hari ini aku benar – benar harus menjauh dari Raja yang semakin tidak jelas menyikapi hubungan pertemanan kami yang bahkan disebut dengan teman saja masih abu – abu. Pagi ini aku mengendap – endap keluar kamar untuk melihat situasi rumah dan memastikan Raja tidak sedang memantau gerak – gerik ku. Rasa – rasa nya sudah aman, aku melangkah kan kaki menuju teras untuk mengenakan sepatu andalan ku satu – satu nya yang sepertinya juga sudah minta di ganti dengan yang baru.
“Kau lupa ya Ndis kalau aku prajurit, jangan kan untuk menguntit mu, menguntit musuh seharian pun aku mampu.” Ucapan Raja barusan sontak membuat ku terkejut bukan kepalang. Berarti sedari tadi ia sudah memperhatikan gerak – gerik ku saat akan keluar rumah. “Mau mu apa sih Ja..?” sepertinya orang – orang dengan tipikal macam Raja ini memang harus diberi pertanyaan to the point saja, buang – buang waktu kalau hanya berbasa – basi dengan mereka. “Kau lupa..? kan sudah ku bilang tadi malam. Kenapa tidak kita realisasikan saja gossip yang sudah terlanjur ada di sekolahan mu.” bisa – bisa nya ia dengan santai nya mengucapkan kata – kata itu barusan.
“Di kesatuan mu, tata krama itu di ajarkan atau tidak..? begitu cara mu mendekati perempuan..?” Aku tidak ingin berbasa – basi lagi dengan lelaki tipikal seperti Raja, Ia tersenyum mendengar perkataan ku barusan. “Jadi kau mau di perlakukan bagaimana..?” sejurus kemudian ia bertanya yang tidak bisa ku jawab sama sekali. “Aku buru – buru, takut terlambat.” Ku tinggalkan ia di teras rumah tanpa menjawab pertanyaan nya itu. Setengah berteriak ia berucap “Kau masih hutang jawaban Ndis..!” aku berbalik arah menatap nya dengan tatapan kesal. Teriakan nya itu bisa saja di dengar oleh Romaito atau bahkan ibu nya sendiri.
Selama di sekolahan , aku merasa tidak tenang sama sekali. Apa yang di ucapkan Raja kemarin malam masih terngiang – ngiang di telinga. Apa mungkin cinta pada pandangan pertama itu benar – benar ada di dunia nyata...? aku bertanya – tanya dalam hati. Jam konseling ku sudah berakhir bahkan dari tiga jam yang lalu, dan jika aku pulang meninggalkan sekolah pun sebenarnya sudah bisa. Tapi aku lebih memilih tetap di sekolah, agar tidak perlu mengatur kata – kata pada saat bertemu dengan Raja nanti.
Tiba – tiba ruangan ku di ketuk tiga kali dari luar, ada suara yang tidak asing terdengar di telinga. Itu suara murid perempuan yang menangis saat aku berkisah tentang cita – cita dan dunia perkuliahan beberapa waktu yang lalu di kelas nya. Murid perempuan yang tersedu sedan tanpa dapat melanjutkan kata – kata nya waktu itu. Ku persilahkan ia masuk ke ruangan ku, dari raut wajah nya tidak terlihat ia sedang gembira.
“Hempp, ibu lupa nama mu, tapi ibu ingat kau di kelas XII IPA 1 yang waktu itu kan..?” aku memastikan bahwa apa yang ku fikirkan tentang nya adalah benar. Ia mengangguk ke arah ku. “Nama saya Mira bu.” Kata – kata itu di tutup dengan senyum optimis oleh nya. “Ohh ya, apa yang bisa ibu bantu mir..?” tanya ku menelisik kehadiran nya ke ruangan ini. biasanya ruangan ku adalah tempat yang sangat amat di hindari oleh seisi sekolahan, tetapi hari ini ia mendatangi ku ke tempat ini, itu pasti lah sesuatu yang penting dan mendesak.