Mauliate Gendis

Fitri Handayani Siregar
Chapter #17

#17 Kehilangan...

Berarti tadi malam Aisyah meminta ku untuk mengiriminya pulsa adalah perkara ini, tetapi kenapa ia tidak bercerita tentang kronologis nya, batin ku. Aku dan kak Nur langsung masuk menuju pelataran sekolah dan mengumumkan berita duka ini, agar sebagian dari majelis guru mewakili untuk datang ke rumah duka memberikan semangat dan penghiburan untuk Aisyah yang di tinggal ayah tercinta untuk selama – lama nya. Sebagian perwakilan osis bidang sosial juga datang ikut melayat ke rumah duka.

Sesampainya rombongan kami di rumah duka, ku lihat rumah sederhana itu yang tak lebih dari seukuran kamar ku di rumah bu Sormin, di tempati oleh lima orang anggota keluarga di dalam nya. Terdiri dari Aisyah, ibu nya, almarhum ayah nya dan ke dua adik nya yang masih kecil – kecil, ku pandangi ibu nya yang berkabung di tepi jenazah sang ayah dengan di temani ada dua anak lelaki di pangkuan nya yang juga tak kalah kehilangan nya dan sedih yang sama dengan ibu yang sekarang harus berjuang sendiri untuk menghidupi keluarga ini kedepan nya.

Aku berusaha mencari keberadaan Aisyah di dalam rumah ini, tetapi dari tadi aku belum melihatnya sama sekali. “Kak, ada lihat si Aisyah..?” tanya ku pada kak Nur siapa tahu tadi sebelum aku masuk ke rumah duka kak Nur sudah lebih dulu bertemu Aisyah. Kak nur menggeleng yang artinya ia juga masih belum bertemu Aisyah. Kak Nur mengucapkan kata – kata yang menguatkan ibu dan istri yang di tinggal selamanya oleh suaminya itu. “Sobar dah umak Aisyah, ma ketentuan ni Tuhan do kak i, mardoa hita so di ampunkon tuhan dosa dan silap di abang. (Sabar ya ibu nya Aisyah, ini sudah jadi ketentuan Nya, yang kita bisa lakukan hanya mendoakan nya saja agar dosa dan salah nya di ampunkan).  Aku mengerti sedikit apa yang baru saja disampaikan oleh kak Nur pada ibu nya Aisyah.

Ibu Aisyah hanya menatap kosong dan air mata nya tak berhenti membasahi pipi nya yang jatuh di pipi anak lelaki nya yang tertidur di pangkuan nya. Tak lama ku lihat Aisyah datang dari arah luar ia bersama seorang perempuan yang sudah sepuh sekali, tetapi masih kuat berjalan meski dibantu oleh Aisyah. Mungkin ini nenek nya Aisyah batin ku. Ia langsung memeluk jenazah dan menangis sembari memeluk ibu Aisyah dan kedua adik nya. Aisyah melihat ke arahku dan memeluk ku tiba – tiba. Aku pun tak kuasa menahan air mata di buat nya. Meski aku tak tahu bagaimana rasanya kehilangan ayah, tetapi aku paham bagaimana pedih nya.

Ia berbisik di telinga ku. ‘Terimakasih pulsa nya bu. Aisyah jadi bisa mengabari sanak saudara yang lain kalau ayah sudah gak ada.” Ia memeluk ku erat. Aku yang mendengar itu dari Aisyah merasa ternyata hidup ini tak ada yang sia – sia atau kebetulan semata, semuanya sudah di atur oleh yang Maha Tahu. Entah kenapa di malam itu aku juga tak bisa memejamkan mata, seandainya aku tertidur mungkin pesan dari Aisyah malam itu pun tak kan terbaca.

Handphone ku tiba – tiba berdering, dari Raja dan ini panggilan video rupanya. Aku menuju ke luar dari rumah duka dengan terburu – buru aku tidak ingin menggangu keluarga ini yang tengfah berduka karena kehilangan kepala keluarga nya.

Mencari tempat yang bisa menerima panggilan video dari Raja, tanpa diketahui oleh beberapa perwakilan guru termasuk bu Sormin yang juga ikut melayat ke rumah duka. Perasaan ku campur aduk saat itu antara tidak ingin menerima panggilan video nya karena sedang berada di rumah duka, tetapi aku juga ingin mendengar kabar nya segera meski kami baru tidak bertemu beberapa jam saja. “Iya, kenapa..?” jawab ku tergesa – gesa dan dengan awas memperhatikan sekeliling ku. “Bukan nya Assalammualaikum, malah nanya kenapa..?” sahut nya melihat ke arah ku yang tidak fokus melihat layar di ponsel ku.

“Ndis, kenapa..?” tanya nya penasaran karena gelagat ku sungguh seperti maling yang takut di teriaki warga lantas di gebukin. “Aku lagi melayat Ja, ini lagi di rumah duka. Nanti lagi telepon nya bisa..?” tanya ku sembari memandangi wajah nya dari layar ponsel ini. Degupan jantung ku tak ada beda nya baik itu bertatap muka langsung dengan Raja atau meski hanya lewat video call saja tetap sama degupan nya berpacu sangat kencang bahkan aku bisa merasakan nya jika tangan ini di dekap kan ke dada.

“Aku gak janji, kami sudah akan berangkat dengan helicopter menuju Sibolga. Jika keadaan memungkinkan nanti ku kabari lagi. Baik – baik disana.” Raja tersenyum ke arah ku dan menutup panggilan video nya. Ahhh, padahal baru saja tetapi kenapa perasaan rindu ini sudah membuncah ya..? aku berjalan kembali menuju rumah duka setelah memastikan keadaan bahwa kiri kanan ku tidak ada yang melihat aku dengan panggilan video bersama Raja.

Bu Sormin melihat ke arah ku dan tersenyum, entah kenapa aku merasa senyum itu seakan penuh selidik. Ahhh, ini mungkin perasaan ku saja. Aku melihat ke arah Aisyah yang memeluk ibu nya erat. Ia berusaha menguatkan ibu dan kedua adik nya. Aisyah bukan murid yang pintar secara akademik, nilai akademik nya cenderung standart saja tak ada yang menonjol kecuali satu mata pelajaran yang sangat di sukai nya., Bahasa Indonesia. Aisyah sangat mahir dalam merangkai kata – kata menjadikan nya enak untuk di baca dan dalam untuk di resapi. Puisi – puisi nya yang pertama kali ku baca di mading sekolahan membuat ku merasakan kesunyian yang di gambarkan nya melalui untaian kata – kata yang membuat siapa saja yang membacanya juga hanyut dalam situasi yang ia gambarkan lewat puisi nya.

Lihat selengkapnya