Hari pertama setelah seminggu lebih aku tidak melihat Aisyah berada di kelas nya. Ku lihat tas punggung yang masih setia di sandang Aisyah meski kelas hanya berjarak tiga langkah saja dari hadapan nya. Ku perhatikan gerak – gerik nya dari sini, tepat nya dari depan ruangan ku yang berada tepat di seberang kelas nya. Ia terlihat ragu untuk masuk ke dalam kelas nya, ia berjalan menjauh dari kelas itu, aku melihat nya mengeluarkan selembar kertas putih yang kemudian di tempelkan nya di mading sekolah. Dan tak lama berselang ia masuk ke dalam kelas nya.
Aku yang melihat gelagat tak biasa Aisyah langsung menuju mading tempat ia menempel secarik kertas yang tadi di bawa nya di dalam tas itu. Ku baca puisi yang di tempel nya di mading beberapa saaat yang lalu, judul nya kehilangan. Mungkin ini bentuk dari rasa kehilangan nya akan sosok ayah yang pergi untuk selamanya seminggu yang lalu. Tapi, tunggu dulu... ini jelas bukan berisikan curahan hati nya akan sosok ayah yang hilang dalam hidup nya. Ku cermati kembali bait demi bait puisi itu, ada kata – kata ambigu disana yang hanya bisa di jelaskan oleh sudut pandang penulis nya saja, itu artinya aku tidak bisa melihat makna tersirat ini dari sudut pandang ku melainkan aku harus menanyakan nya langsung pada Aisyah. Ku foto puisi nya itu agar aku bisa membaca nya kapan saja dan mungkin mulai membuat penilaian dari versi ku sendiri sebelum mendengarnya langsung dari Aisyah.
Pesan masuk di whatsApp ku dari Raja, aku yang sejak tadi fokus mengartikan puisi itu dari sudut pandang ku teralihkan dengan pesan masuk yang berupa video berdurasi tiga menit yang isi nya bagaimana ia membuat tempat paling nyaman dengan signal berlimpah di atas pohon dengan ketinggian yang lumayan bisa bikin kaki patah jika terjatuh dari atas untuk bisa tetap mengabari ku bagaimana perjuangan nya selama di Papua. Ahhh, aku terlalu geer tentu saja ini bukan hanya soal aku tetapi juga soal bu Sormin, ibu nya yang tentu juga sangat menanti – nanti kabar dari anak semata wayang nya ini. Tiba – tiba panggilan video masuk dan tentu saja dari orang yang paling ku tunggu – tunggu kabar nya setelah kabar dari ibu dan bapak tentunya.
Ia tersenyum melihat ku yang mungkin terlihat jelas mulai tersipu malu. “Apa kabar..?” tanya nya dengan senyum dan mata nya yang tak luput melihat ke arah ku. “sudah lihat video nya kan...? kalau setinggi ini selain aman nyari signal juga aman dari musuh.” Kata – kata nya barusan membuat ku merasa ada sesuatu yang terasa sesak di dada ini. Pikiran – pikiran liar mulai datang silih berganti bagaimana jika terjadi hal – hal yang tidak di inginkan selama ia bertugas disana.
“Ndis, ndis... kau sibuk...?” aku yang masih sibuk dengan perasaan ku sendiri terlambat merespon pertanyaan nya yang sejak tadi belum ku respon. “Ahhh, iya maap Ja, aku jadi khawatir saat kau bilang juga aman dari musuh, kau akan baik – baik saja kan ja...?” tanya ku khawatir yang dijawab senyum oleh nya ke arah ku. “Kau harus terbiasa, kan mau jadi istri prajurit. Harus siap di tinggal – tinggal. Harus siap dengan segala situasi dan resiko.” Jawab nya tersenyum ke arah ku. “Ahhh kau ini.. kita saja gak tahu apa nama hubungan ini, teman kah..? pacaran kah...? tunangan kah..? atau sekedar coba – coba saja...?” jawab ku menggambarkan hubungan dan kedekatan yang kami jalani saat ini.
Ia kembali terseyum mendengar jawaban apa adanya ku barusan. “Hubungan ini tanpa nama, tapi dengan tujuan yang jelas ke depannya. Mirip – mirip operasi rahasia gitu, ya kan...?” aku yang mendengar jawaban itu kembali tersipu malu. “Kau pikir ini film kisah percintaan box office antara agen rahasia dengan kekeasih nya yang di rahasiakan, gitu...?” lagi –lagi Raja hanya tersenyum mendengar jawaban ku dan tetap awas melihat ke sekeliling nya, ada senjata laras panjang yang tergantung di sebelah dahan pohon yang ada di hadapan nya. “Ini kisah kita Ndis bukan film box office, kau sudah rindu lagi...?” pertanyaan nya kali ini sungguh membuat ku yang tak pernah ada dalam hubungan seperti ini menjadi salah tingkah. “pertanyaan mu aneh...?” aku mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu kentara kalau sekarang aku sedang mengatur degupan jantung ini agar tidak terlalu keras memompa.
“Aneh darimana...? aku saja sudah rindu berat.. Rasanya gak sabar ingin ke Djokja melamar mu di hadapan bapak dan ibu.” Dapat di pastikan kali ini jantung ku punya ritme nya sendiri yang membuat ku tak bisa mengontrol degupan nya, ia berdegup sesuka hatinya tanpa membiarkan akal sehat ku sedikit saja bisa mengontrol nya agar tidak terlalu kelewatan yang terlihat di wajah ku ini memerah dibuatnya karena darah yang di pompa jantung kali ini lebih banyak dari biasanya. “Ihhhhh, kau yakin kalau aku sudah cukup yakin bersedia jadi istri prajurit yang harus di tinggal –tinggal, siap dengan segala resiko nya kalau suami lagi tugas...? kau yakin kalau jawaban ku akan IYA..?” Raja yang mendengar pertanyaan demi pertanyaan hanya terlihat sedikit agak gelisah. Ia menutup begitu saja telepon nya.