Aku berjalan meuju gerbang sekolah dimana pak Andi katanya akan menunggu ku menuju rumah nya Aisyah, tetapi sepertinya tidak ada siapapun disana. Benar saja tidak ada siapa – siapa di gerbang ini, ehhh tapi tunggu dulu ada seseorang berjalan ke arah ku dengan payung berwarna hitam, dari cara berjalannya itu seperti.... Ya, benar saja pak Andi. “Kenapa bawa payung pak...?” memang hari ini terlihat mendung, tetapi ini hal yang biasa di Sipirok langit tidak akan secerah di tempat lain. “Sedia payung sebelum hujan bu...” jawab nya sembari tersenyum dan melihat ke arah langit yang memang terlihat tidak secerah biasanya. “Disini mah biasa kalau langit nya gak begitu cerah pak, gak hujan pasti...” jawab ku dengan canggung di bawah payung yang sama.
Sepanjang jalan menuju rumah Aisyah, kami tak banyak bicara hanya sekedar saling tanya dan terdiam ketika sudah mendapatkan jawabannya. “Buk, boleh saya panggil nama saja...? ini kan bukan di lingkungan kerja lagi...” Ia menghentikan langkah nya, otomatis aku juga harus berhenti karena kami ada dibawah payung yang sama. “hemmmp... sebenarnya saya lebih nyaman di panggil bu Gendis saja pak...” Aku melangkah maju yang di susul oleh nya agak terburu dan kembail menyamakan langkah kaki kami di bawah payung hitam yang dibawanya. “Ohhh, maaf kalau begitu saya akan tetap memanggil ibu dengan bu Gendis saja kalau begitu...” dan kami kembali hening setelahnya.
“kita sudah hampir sampai bu, siapkan mental apapun yang terjadi nanti saya ada disini bersama ibu...” Aku hanya tersenyum tidak nyaman ke arah nya setelah mendengar kalimat barusan. “Bu Gendis sudah punya rencana bagaimana cara menyampaikan nya kepada orangtua Aisyah...?” Ya, benar saja aku belum punya rencana yang jelas untuk memulai percakapan tentang perjodohan Aisyah ini. “Belum pak, menurut bapak saya harus bagaimana cara menyampaikan nya ke mereka pak...?” Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya.
“Kalau saran saya ada baik nya ibu mendengar dulu alasan dari keluarga mereka, baru setelah itu ibu sampaikan saran yang ingin ibu sampaikan, bagaimana...?” Aku tersenyum ke arah nya, masukan nya ada benar nya aku harus memulai semuanya dari awal kenapa wacana perjodohan ini bisa terlaksana. Sepertinya di rumah Aisyah sedang ramai orang karena terlihat dari beberapa kendaraan terparkir di depan rumah kayu sederhana itu. Juga banyak sendal dan sepatu yang ada di depan pintu rumah yang memang sudah terbuka itu, dari jauh saja sekitar sepuluh langkah dari depan pintu aku sudah dapat melihat jika di rumah nya saat ini sedang ramai orang.
Aku menghentikan langkah ku sejenak, begitupun pak Andi. “Apa ini langkah yang tepat pak...? sepertinya sedang banyak orang di rumahnya Aisyah...” Aku belum mendapatkan jawaban apapun dari pak Andi, Aisyah sepertinya melihat kedatangan kami dan berlari ke arah ku dari dalam rumah nya. Seketika ia memelukku erat, ada bulir –bulir air mata jatuh di pipi nya, sampai- sampai membasahi jilbab putih yang ia kenakan siang ini. “Aisyah kenapa...? jangan menangis disini, ayoo kita masuk ke dalam...” Ajak ku sembari mengusap air mata di pipi nya. “Jangan masuk buk, jangan masuk... nanti tulang sama udak Aisyah pasti marah – marah ke ibu, hari ini orang yang ingin menikahi Aisyah sudah datang melamar bu...” mendengar kata – kata itu bukan nya malah menyurutkan niat ku untuk masuk ke rumah itu, malah justru semakin menggebu – gebu.