Sepertinya baru kemarin aku bilang sayang, tapi hari ini kamu menyakitiku begitu dalam.
---
Bola kecil putih itu melaju, membentur dua buah bola berwarna gelap bernomor 5 dan 7 di tepi yang mengakibatkan satu bola menggelinding dan masuk ke dalam lubang di pojok papan.
“Tapi gue kok masih ragu ya?” Bagas, cowok yang berdiri di samping meja biliar mengetuk-ngetuk stick di tangan.
“Setuju,” tanggapan datang dari Bagus, saudara kembarnya yang duduk di bangku tinggi, menumpukkan ujung siku pada meja di belakang, “Kaya gak mungkin aja gitu, kan,Selly kaya gitu.”
Sodokan kembali terdengar, sebuah bola bernomor 7 membentur pembatas dan menggelinding lalu masuk ke dalam lubang. Rey seperti terlalu bernafsu untuk menyelesaikan permainan. Memonopoli semua bola. Kepiawaian lelaki itu dalam bermain biliar memang tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja sekarang ini permainannya sedikit kasar, seolah ingin menghancurkan bola-bola itu dengan tongkat kayu di tangan.
“Emangnya Selly gak ada bilang apa-apa gitu, Rey?”
Rey melirik Bagus, salah satu sahabat dari kecilnya itu. Pertanyaannya membuat kejadian kemarin malam kembali berputar di otak.
“Ma ... maaf Rey.” Sebuah ucapan yang tidak diharapkan dari gadis di depannya menyentak dada. Mencipta gemuruh yang berusaha ditekan sejak pertama kali melihat foto-foto gadisnya—masih bisakah Rey menyebutnya begitu— beberapa menit yang lalu di sebuah blog.
Tertulis judul dengan huruf tebal dan besar, Gak Nyangka Mahasiswi Ini Ternyata Tak Selugu Tampangnya. Disertai beberapa foto yang mukanya disamarkan. Tapi siapa pun bisa tahu kalau itu Selly, lewat sebuah cincin yang melingkari jari manisnya. Cincin satu-satunya di dunia ini yang didesain khusus.
Detik itu juga Rey memerintahkan Alarik, bawahan ayahnya yang ahli di bidang teknologi informasi untuk memblokir penyebaran foto. Melacak pemilik akun, termasuk melacak lelaki seumuran ayahnya yang menjadi teman foto Selly.
Tidak sulit menemukan pelaku yang ternyata seorang penjaga warnet di dekat kampus. Sayangnya penjelasan dari lelaki itu menambah kadar amarah Rey. Fotonya asli, tanpa editan.
Masih tak percaya, Rey mencetak sendiri foto-foto itu, meneliti secara mendetail setiap sela, dan lagi-lagi hanya kekecewaan yang semakin memenuhi dada.
Dan kini ketika dia bertanya langsung pada sang pelaku, berharap ada sedikit penjelasan. Bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Bahwa lelaki yang bersama Selly adalah salah satu saudara. Rey bersumpah dia akan tetap memaafkan Selly dan mempertahankan hubungan mereka.
Tapi jawaban tidak diharapkan justru yang dia dengar.
“SIAPA?” bentaknya.
Selly lagi-lagi berjengit, jemarinya meremas foto di genggaman dengan gemetar yang kentara.
“A-aku gak bisa jelasin,” jawab gadis itu terbata. Kepalanya terus menunduk dalam.
Rey menerjang ke depan dalam gerakan cepat. Mengimpit tubuh Selly hingga membentur dinding, menjepit rahang gadis itu kasar dengan jemarinya.
“TATAP MATA GUE!”
Netra Selly memerah, dengan genangan di pelupuknya. Rey mengutuk diri yang telah membuat gadis itu demikian ketakutan. Mata yang membentuk lengkung bulan sabit ketika tertawa itu kini berair karenanya. Mengekspresikan ketakutan yang tidak sedikit.
“Katakan kalau itu gak bener!” bisik Rey parau, hidung mancungnya nyaris menyentuh ujung hidung Selly, “Pliss!”
Satu tetes air mata lolos dari sudut mata Selly, mengaliri pipi dan berakhir membasahi telapak tangan Rey. Tidak ada jawaban. Dan bukankah diam berarti iya?