Kadang luka hati itu, lebih menyakitkan daripada luka raga.
---
Hal yang tidak mengenakkan jika bertubuh mungil adalah kamu akan kalah dengan mereka yang bertubuh lebih besar. Seperti Selly yang tengah berjuang menjaga keseimbangan tubuh di antara desakan manusia lain demi bisa menjangkau papan pengumuman di universitas yang beberapa hari lalu mengadakan tes ujian masuk untuk mahasiswa baru. Namun, bukannya semakin dekat dengan apa yang dia tuju, tubuhnya justru terdorong keluar dari kerumunan.
Ketika dia mencoba kembali menyempil, seorang gadis berbadan sumo menyenggol pundak, membuat Selly kehilangan keseimbangan. Dia memejamkan mata bersiap bertemu lantai keramik di bawahnya. Sakitnya mungkin tidak akan seberapa, tapi harga diri mungkin akan sedikit terusik. Dia akan lebih cepat dikenal sebagai si malang yang jatuh tidak elegan.
Kening Selly berkerut saat dirasa tidak ada benda keras yang mengenai wajah. Justru sesuatu terasa menahan perutnya. Sebuah tangan kekar melingkar di sana. Selly menoleh pada pemilik tangan penyelamat itu. Maha karya Tuhan yang begitu indah memanjakan netra Selly. Apa dia pingsan dan bermimpi bertemu malaikat tampan? Atau dia sudah berada di alam lain? Dengan pangeran pemilik senyum termanis itu?
“Kamu gak papa?”
Selly terperanjat, dia segera menegakkan tubuh. Berdiri di kaki sendiri dengan salah tingkah. “A-aku gak papa, terima kasih.”
Rey tersenyum pada gadis yang kedua pipinya merona itu. Gadis itu masih belum menyerah. Dia kembali mendesak masuk.
“Hei, aku bisa menolongmu,” ucap Rey yang membuat mata bening gadis itu melebar.
“Siapa namamu?” tanya Rey.
Sejenak Selly tertegun, pemuda ini mengajaknya kenalan? Tapi detik berikutnya dia tersadar saat melihat mata Rey yang memicing menyorot papan pengumuman. “Selly,” jawabnya, “Selly Anandita.”
Tidak sulit bagi pria bertubuh tinggi di atas rata-rata itu untuk membaca papan yang berada tiga meter di depannya. Selly curiga apa lelaki itu doyan makan kacang panjang ketika kecil. Tapi dia kemudian tertawa sendiri, dialah si penyuka masakan itu.
“Nomor 9.”
“Apa?”
“Itu namamu ada di nomor 9, Selly Anandita,” jawab Rey menunjuk papan.
Selly terpekik bahagia. Ucapan syukur dia panjatkan berkali-kali. Bukan hanya untuk keberhasilannya masuk, tapi juga sudah bisa dipastikan bahwa dia akan mendapat beasiswa satu semester ke depan.
Rey turut berbahagia. Matanya tak henti menatap gadis di depannya.
Selly berdehem. “Kamu, lolos juga, kan?”
Rey mengangguk mantap. Tentu saja dia lolos.
“Rey Atmaja.” Lelaki yang memakai kemeja denim itu mengulurkan tangan.
Sesaat Selly tertegun, dia benar diajak kenalan sekarang. Tersenyum, gadis itu menyambut tangan Rey. Saling berjabat untuk awal pertemuan mereka.