“Selly, kamu di sini?”
Selly mengangkat kepala, menghentikan kegiatannya membaca buku di sudut perpustakaan. Dewi, gadis berkaca mata tebal dengan rambut dikepang dua tersenyum.
“Kenapa, Dew?” tanya Selly lirih walaupun mereka berada di sudut perpustakaan yang jarang dilalui orang. Selly tidak mau kena tegur penjaga perpus hanya karena suaranya yang mungkin mengganggu yang lain.
“Itu ....” Dewi tampak ragu melanjutkan ucapannya, beberapa kali gadis itu melipat bibir ke dalam. “Kamu dicariin sama Bagas,” cicitnya.
Memejamkan mata, Selly sudah memprediksi ini akan terjadi. Pertama mungkin hanya ketua BEM, lalu setelah itu barangkali pihak kampus yang akan memanggilnya. Jika beruntung dia hanya akan diberi SP, dan beasiswa dicabut. Tapi jika nasib baik tidak berpihak, mungkin hanya tinggal hitungan hari dia berada di kampus ini.
Universitas Atmaja adalah salah satu kampus terbaik. Meski bukan milik pemerintah, pemiliknya tidak sungkan memberi beasiswa bagi mahasiswanya yang berprestasi dan punya dedikasi tinggi untuk belajar. Selain itu, lulusan UA tidak perlu bingung mencari pekerjaan, karena RA Group menyediakan banyak lapangan pekerjaan untuk anak didiknya. Itulah kenapa semakin banyak pelajar yang mendaftar di UA tiap tahunnya. Tentu saja hal itu harus dibarengi dengan tingkah laku yang baik dari para penuntut ilmu. Instansi pendidikan mana pun pasti tidak akan membiarkan almamaternya tercoreng karena tingkah peserta didiknya, kan?
“Hey!” Dewi menyentuh lengan Selly, ketika dia bangkit dari duduk. “Aku percaya kamu gak mungkin kaya gitu,” ucap Dewi tulus, “Kamu jelasin aja ke mereka kalau itu gak bener, dan semua akan kembali baik-baik saja.”
Selly tersenyum untuk seseorang yang masih setulus ini padanya. Bukan tanpa alasan dia memilih perpustakaan untuk menghabiskan waktu istirahat, tatapan permusuhan dari beberapa mahasiswa membuatnya risih dan memilih menyingkir. Tapi nyatanya Tuhan memang baik, masih ada orang yang peduli.
“Makasih, Dew,” ucap Selly sebelum berlenggang keluar perpustakaan menuju ruang BEM.
Langkah Selly semakin berat seiring jarak yang kian dekat. Andai dia bisa mengungkap kebenarannya, tapi semua tidak semudah itu. Karena akan terlalu banyak kerumitan lain yang membuntuti jika dia harus jujur. Menghela napas panjang, Selly berdoa semoga hanya berupa surat peringatan yang diberikan. Ayolah, dunia ini tidak sesuci itu. Selly tahu ada banyak perempuan-perempuan yang melewati jalan pintas demi beberapa lembar uang untuk menyambung hidup mereka atau sekedar bersenang-senang di kampus ini. Semua orang juga tahu sudah sekotor apa dunia ini. Terlepas dari apa pun alasan para pelakunya, biarlah Tuhan yang turun tangan. Baik berupa hidayah atau hukuman. Karena faktanya pembulian dan cemoohan dari orang-orang sekitar bukanlah solusi tepat. Kalau memang ingin membantu, rangkul mereka, tunjukkan jalan yang benar. Jadi masih boleh kan, Selly berharap keadilan?
Langkah Selly terhenti lima langkah dari pintu masuk ruangan BEM. Alisnya menukik melihat Kiky bersandar di samping pintu. “Kiky ngapain?” tanya Selly.
Pemuda yang tadi tengah asyik menatap lantai di bawah kakinya itu mendongak. Tersenyum, dihampirinya Selly. “Nungguin kamu?”
Alis Selly kian meninggi. “Lho, tapi aku harus ke situ?” Tunjuknya pada pintu coklat di depan mereka.
“Aku tahu, ayo aku temenin.” Kiky meraih lengan Selly membawanya berjalan.
“Loh tapi—” ucapannya terhenti begitu mereka sampai di depan pintu dan Kiky mengetuknya.
Jantung Selly berpacu tiga kali lebih cepat ketika manik matanya menemukan tiga pasang mata di dalam ruangan yang tengah duduk mengelilingi meja oval.
“Ngapain lo ikutan masuk?” todong Rey pada Kiky yang berdiri di samping Selly.
Lelaki berkaca mata itu mengangkat bahu. “Nemenin Selly, kalau-kalau kalian berlaku kriminal.”
“Apa lo bilang?” Rey berdiri gusar dari bangkunya, membuat ujung kaki kursi itu berderit bergesekan dengan lantai.
“Rey!” tegur Bagas, lelaki berambut ikal itu menyuruhnya kembali duduk. Lantas pandangannya tertuju pada Kiky. “Kita punya aturan tertulis kalau lo lupa Ky, lagian kita bukan preman.”
“Well, gue cuma jaga-jaga. Lagian di sini cowok semua, gue gak mau Selly terintimidasi.”
“Emangnya lo apa? Banci?”
“Rey!” Teguran Bagas kembali membungkam Rey. “Lo sendiri tau gimana cewek-cewek kalau udah berurusan sama hal ginian,” terang Bagas kembali menatap Kiky. “Kita justru ngindarin hal-hal buruk terjadi sama Selly.”
“Dengerin tuh, udah sono cabut!” usir Rey pada Kiky.