Kamu yang pertama mengenalkanku pada rasa bernama sakit hati.
---
Pekat malam menyelimuti bumi, membawa suasana sunyi. Hanya segelintir orang yang tersisa di Universitas Atmaja. Tidak banyak yang mengambil kelas malam. Sebagian ruangan sudah gelap, menyisakan lampu temaram di beberapa sudut koridor. Namun, gedung olahraga di sayap kanan bangunan kampus masih menyala terang. Gedebag-gedebug suara bola yang terpantul lantai menggema di area luas yang hanya berisi dua orang itu. Adu basket one on one yang sudah berlangsung lebih dari 20 menit itu membuat kedua pemain bermandikan keringat. Salah satu pemainnya tampak kewalahan menghadapi lawan yang masih gencar mendribel bola dan memasukkan si kulit bundar ke ring.
“Hh ... Haduh ... Nyehrah gueh Rheyh.” Bagus mengangkat kedua tangan ke udara. Mengaku kalah dan melipir ke pinggir lapangan. Menjatuhkan badan di sana dengan napas putus-putus.
Sementara Rey masih khusyuk memainkan si orange. Kendati kaus hitamnya sudah kuyup dan menempel ketat di badan. Rahang pemuda itu mengeras dengan sorot mata setajam pedang. Keringat mengucur membasahi setiap bagian wajah. Mengalir di sepanjang garis rahang, untuk kemudian beberapa tetes jatuh melalui dagu lancipnya. Beberapa turun ke leher dan menambah basah pakaian.
“Kenapa lo?” Bagas yang baru masuk menghampiri kembarannya yang masih telentang di lantai dengan mata terpejam. Kantong putih bertulis nama salah satu mini market tergenggam di tangan.
Bagus membuka mata, tangannya terulur pada plastik yang dibawa Bagas. Sebotol air mineral diterima. Pemuda itu bangkit, duduk dan meminum isinya dengan rakus. Seperti musafir yang seharian tidak mendapat air. Bagas duduk di sampingnya.
“Gila!” umpat Bagus setelah menandaskan hampir seluruh isi minuman itu. “Gue kaya main sama banteng, di seruduk mulu.”
Bagas tertawa, cukup paham dengan apa yang telah terjadi pada saudara yang lahir dua menit lebih lama darinya itu. Matanya mengikuti pergerakan Rey yang masih terlampau semangat mendribel bola dan melempar ke dalam ring dengan kekuatan penuh. Menangkapnya lagi, lalu melakukan hal yang sama. Seolah dia tidak peduli dengan jantungnya yang mungkin sebentar lagi meledak karena terlalu bekerja keras memompa darah, pun lelaki itu mengabaikan jika bisa saja dia terserang dehidrasi akut karena terlalu banyak mengeluarkan cairan.
Bagas berdecak, “Tu bocah mau mati apa?” gerutunya, lantas memanggil lantang nama Rey, menyuruhnya berhenti.
Namun, bukan Rey Atmaja namanya jika dengan mudah diperintah. Di antara mereka bertiga, Rey yang paling keras kepala. Tidak ada yang bisa mencegahnya berbuat sesuatu kecuali ayahnya atau Selly, sayangnya opsi terakhir mungkin hanya akan menjadi kenangan.
“Bandel banget sih!” Bagas berdiri, menghampiri Rey. Menghadang pemuda yang masih memainkan bola sambil sedikit membungkukkan badan itu.
“Udah cukup Rey!” ujar Bagas.
Hanya kerlingan mata yang Rey berikan, sebelum mengambil langkah di sisi Bagas, dan kembali melakukan tembakan ke ring.
“Fine, kalau lo gak mau berhenti, gue yang akan menghentikan lo.”
Menit selanjutnya, Bagas membayangi Rey, berusaha merebut bola. Melipir dan berkelit Rey lakukan demi menghindari temannya itu. Setelah bola masuk ring, Bagas lah yang lebih dulu menangkapnya, mendekap erat, serupa bayi yang butuh dirawat.