Setidaknya aku masih punya sesuatu tentangmu yang bebas aku buka kapan saja. Sesuatu bernama kenangan.
---
“Ih Rey!” Selly menggerutu pada lelaki di belakang punggungnya. Mereka sedang duduk di taman, beralas rumput, beratap pohon bougenvil. Duduk berlawanan arah dengan punggung saling menempel.
Sejak mengenal Selly, Rey punya hobi baru, menjaili gadis itu. Memiting lehernya di ketiak, menarik kuncir rambut Selly atau mengganggu kegiatan gadis itu. Seperti saat ini, pemuda itu dengan sengaja menumpukan berat tubuhnya ke belakang, memaksa Selly untuk semakin membungkuk karena berat badan mereka yang tidak sebanding, membuat Selly tidak bisa konsentrasi membaca buku.
“REYY!” bentak Selly lagi yang justru disambut tawa oleh si pemuda.
Selly menggeser tubuh dengan sengaja, membuat tubuh Rey jatuh ke tanah berumput dengan posisi telentang. Tepat di samping kaki Selly yang selonjoran.
Mengabaikan keluhan Rey, yang Selly yakin sebenarnya tubuh lelaki itu tidak sakit, dia tetap fokus membaca buku sebagai bekal untuk ujian nanti.
Rey menekuk lengan di bawah kepala, menjadikan sebagai bantal. Gadis di depannya itu terlalu menyita perhatian. Mata Rey seolah terhipnotis untuk hanya memandang Selly saja. Mengikuti setiap gerak gadis berambut hitam sepunggung itu.
Rey bukan pemain cinta seperti Bagas dan Bagus yang ganti-ganti pacar sesering berganti pakaian. Dari pada menghabiskan waktu untuk makhluk berjenis wanita, dia lebih memilih nongkrong di basecamp. Bermain biliar atau bermesraan dengan konsol PS-nya. Bertingkah tidak peduli pada keadaan sekitar, meski banyak yang terang-terangan meneriakkan namanya, meminta perhatian.
Wajah rupawan yang dia miliki serupa candu bagi kaum hawa. Membuat mereka terus memandang dan menjerit histeris. Menjadi gadis Rey mungkin adalah salah satu mimpi mahasiswi di kampus ini.
“Rey, lembut sedikitlah sama cewek. Lo gak lihat tadi mukanya sampai merah gitu saking malunya,” ucap Bagas panjang lebar ketika Rey lagi-lagi mengabaikan gadis yang menyukainya. Dengan tega Rey hanya memberi tatapan ‘apaan si’ pada seorang gadis yang menghampiri dan menawarkan sekotak coklat padanya. Dia melewati gadis itu begitu saja, menganggap patung selamat datang semata.
“Ya ngapain coba? Buang-buang waktu,” jawab Rey waktu itu. Dia hanya merasa tidak tertarik dengan makhluk berbeda jenis itu yang kata Bagas suaranya saja mampu menjungkirkan akal sehat. Rey berdecih untuk teman playboy-nya itu.
Tapi kini Rey seperti termakan omongan sendiri. Lelaki itu tertawa, menyadari bahwa perkataan Bagas benar.
“Apaan sih Rey, ketawa sendiri gitu?” Selly menurunkan buku sebatas hidung, menegur Rey yang tertawa sendiri.
Suara Selly mampu menggelitik syaraf, membuatnya ketagihan untuk mendengarnya lagi dan lagi. Mata bening gadis itu serupa telaga yang menenangkan tapi juga menyimpan misteri yang tidak bisa diarungi kedalamannya. Jika selama ini para gadis rela mengantre untuknya, maka Selly adalah manusia langka yang seperti tidak terpengaruh oleh rupa menawan Rey. Ada banyak gadis yang dengan senang hati menggantikan posisi Selly untuk bisa dekat dengan putra dari pemilik RA. Grup. Tapi lihatlah gadis di depannya itu justru lebih banyak menggerutu, memprotes perlakuan Rey. Hal yang malah membuat Rey semakin penasaran.
Merasa risih karena bukannya menjawab Rey justru memandanginya lekat membuat Selly kembali mengangkat buku, melanjutkan aktivitasnya.
Rey tersenyum, lantas bangun. Memosisikan diri di depan Selly, dan menurunkan buku di tangan gadis itu. Mereka bertatapan untuk waktu yang seolah berhenti. Hanya menyisakan dua insan yang saling mencari lewat kedalaman netra.
Hanya Selly dan Tuhan yang tahu betapa gadis itu ingin menjerit sekarang. Jantungnya berdegup tak karuan di dalam rongganya, dia bahkan takut suaranya tertangkap telinga Rey. Lalu hal tak wajar menjalari perut hingga dada, mencipta gelenyar aneh yang baru pertama kali Selly rasakan.
Gadis itu tidak pernah jatuh cinta, atau lebih tepatnya dia membentengi diri dari virus merah jambu itu. Tidak mau mengenal apa itu suka dan membuang jauh-jauh hasrat untuk berdekatan dengan lawan jenis. Teman pria yang dimiliki satu-satunya adalah Kiky Wiratama. Lelaki yang sudah dianggap sebagai saudara, lantaran mereka dekat dari kecil.
Tapi semenjak mengenal Rey, benteng yang dibangun Selly mulai terkikis. Virus itu masuk perlahan, menjalari setiap inci tubuhnya. Membuat Selly merasa senang jika berdekatan dengan Rey. Walaupun dia menggerutu dan protes, sejatinya hatinya berkata ‘aku suka’.
“Ini kenapa selalu merona?” Rey mengelus pipi Selly yang memerah dengan punggung telunjuk.
Selly berdehem, tidak siap dengan pertanyaan tidak terduga Rey. Lebih-lebih dengan sentuhan lelaki itu yang membuatnya kesulitan menemukan jawaban, “Panas mungkin.”