Dia datang bersama setumpuk kenangan, merongrong jiwa, menumpulkan logika.
Dia adalah rindu.
---
Selly mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha mengusir bayangan kenangan yang membanjiri memori tanpa kenal nanti. Sendiri di dalam rumah yang sepi memang kombinasi mematikan untuk sebuah hati. Potongan memori bersama seseorang yang mungkin saat ini telah membencinya bermunculan di kala fajar masih malu-malu menampakkan diri.
Sekali lagi Selly mengusap wajah, lantas menilik ponsel di samping kepala, pukul 06.30. Gadis itu tertidur beralas karpet di ruang tamu setengah jam yang lalu karena lelah. Ketika membuka mata yang dia dapati hanyalah sepi, keadaan yang membuat otaknya riuh. Mengobrak-abrik isi kepala, dan memunculkan wajah Rey tanpa diminta.
Memandangi ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa pun adalah tindakan yang salah. Karena dia justru tergoda membuka sebuah aplikasi chating online. Menggulir layar, pada satu kontak yang beberapa hari ini tidak sekali pun menyapa. Laman chating mereka menampilkan obrolan terakhir. Tentang serial Doraemon yang entah kapan akan berakhir. Senyum terkulum kala dia membaca ulang pesan-pesan itu, seolah itu adalah hal penting yang wajib didiskusikan. Bersama Rey memang selalu begitu kan? Semua terasa menarik untuk diperbincangkan.
Namun, senyumnya berubah kecut, seiring hati yang mengkerut. Merindukan perdebatan konyol mereka, menginginkan lagi berhadapan dengan pemuda itu. Tapi semua itu mungkin hanya akan menjadi harapan semu, yang tidak akan pernah terwujud.
Selly menyentuh dada, merasakan lubang tak kasat mata, menyesakkan, sekaligus mencipta ngilu tak terbantahkan. Dia tidak pernah tahu, jika merindukan seseorang akan demikian menyakitkan.
Selly menyentuh foto profil kontak itu. Gambar wajah Rey Atmaja tampak samping. Salah satu pemandangan yang Selly sukai, di mana garis-garis wajah lelaki itu terukir jelas. Alis hitam membingkai mata dengan sempurna, pangkal hidungnya berlekuk sebelum menjulang serupa perosotan. Bibir lelaki itu tipis dengan rahang tegas. Meski Selly belum pernah menyentuh pipi itu, tapi dia tahu pipi Rey halus.
Sedang apa kamu Rey?
***
Rey tersentak dari tidur, sebuah mimpi memaksanya terbangun dengan gangguan debaran jantung. Mendudukkan diri di atas kasur berseprai biru dongker, lelaki itu menyugar rambut, mengacaknya tak beraturan. Bahkan ketika tidur pun wajah Selly menghantuinya. Tertawa pongah di atas kepala sembari menggandeng pria berkemeja rapi. Tidak memedulikan wajah Rey yang bersimbah darah karena luka.
Sial!
Bahkan mimpinya pun sangat mengerikan.
Dia menurunkan kaki, lantas berjalan ke arah jendela. Menyibak korden, bias cahaya menyapa, membuat netra Rey memicing beberapa saat sebelum beradaptasi dengan sinar mentari. Pandangannya menerawang, menjelajah jarak, lantas seolah berhenti pada sebuah rumah kontrakan bercat putih. Penghuninya mungkin sedang menyiapkan sarapan pagi atau bersiap berangkat kuliah. Baju apa yang akan dia kenakan? Apakah rambutnya akan dibiarkan tergerai, menggoda angin untuk menerbangkan ujungnya, atau dikuncir tinggi di belakang kepala, sehingga wajahnya terekspos sempurna.