Mawar Biru

zee astri
Chapter #9

Teka-Teki 1

Senyum terbaik dipersembahkan Kiky untuk Selly yang baru keluar dari kelas. Kakinya melimbai ringan menghampiri si gadis yang hari ini memakai blouse warna pink pucat. Menambah kesan manis di wajah Selly yang separuh rambutnya diikat di belakang.

“Makan yuk,” ajak lelaki berkaca mata itu setelah berada cukup dekat dengan Selly.

“Kantin?” Alis Selly menukik, ingatan tak menyenangkan menyergapnya kala membayangkan salah satu tempat makan di kampus ini. Dua hari lalu ketika dia memutuskan makan siang di kantin, hampir seluruh penghuni mencibir. Mengolok baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebutan pelakor dan sejenisnya bergaung hampir di sepanjang kegiatan makannya.

“Di Numani aja gimana?” tawar Kiky.

Anggukan diberikan Selly, dia juga lapar. Tadi pagi perutnya hanya terisi secangkir teh manis.

Mereka berjalan bersisian di sepanjang koridor. Kiky menunduk, memandangi kedua belah tangan mereka yang nyaris bersentuhan. Jemarinya bergerak gelisah. Keinginan untuk menautkan tangan mereka begitu besar. Namun, gerakan Selly yang tiba-tiba berpindah ke tali tasnya membuat Kiky memasukkan tangannya ke saku celana.

Mereka menuju Rumah Makan Numani yang hanya membutuhkan waktu 10 menit berkendara dengan mobil. 

Satu ekor gurame bakar ukuran jumbo menjadi menu makan siang. Kiky mengambil daging ikan itu dengan garpu dalam ukuran besar untuk dipindahkan ke piring Selly.

“Thank’s, Ky,” ucap Selly dan mulai makan.

Kiky selalu suka cara Selly memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyahnya tanpa suara dan menelan setelah dirasa cukup halus. Gadis itu bukanlah tipe perempuan yang dengan hati-hati makan, seolah apa pun yang masuk ke mulut harus sesuai porsi. Jika kebanyakan perempuan lain akan menekan jumlah makanan yang masuk perut, menyisakan setengah porsi di piring, lain hal dengan Selly. Dia selalu menghabiskan makanannya. Cara makannya membuat orang yang melihat ikut tergiur.

Ah, tidak hanya soal itu. Kiky selalu suka apa pun yang dilakukan sahabat sejak kecilnya itu.

“Semalam tidur di rumah sakit?” tanya Kiky di tengah santapan mereka.

Selly mengangguk, menyendok sambal untuk yang ke tiga kalinya. Bibir gadis itu memerah, sesekali bergetar karena menahan pedas. Titik-titik air keluar dari dahinya. Kiky meraih tisu, lantas menyeka keringat Selly, gadis itu mendongak, untuk sesaat pandangan mereka terkunci.

“Sorry, aku keringetan ya?” ucap Selly, menjauhkan kepala dan menyeka dahinya dengan tangan sendiri.

“It’s oke, lanjutin gih!” Kiky tersenyum, sedikit menyesali perbuatannya yang membuat Selly menjeda aktivitas mengisi perut itu.

Mereka keluar dari rumah makan setelah perdebatan alot tentang siapa yang harus membayar. Kiky memaksa membayar semua pesanan mereka, sementara Selly bersikeras ingin membayar makannya sendiri. Akhirnya Kiky mengalah. Selalu seperti itu, menjadi lemah terhadap dia yang disayang.

“Hari ini libur kan?” Kiky menanyakan jadwal kerja Selly di kafe. Pandangannya fokus ke depan, pada jalanan yang tidak pernah sepi dari berbagai kendaraan.

“Mau langsung ke rumah sakit?” tanya Kiky lagi setelah mendapat anggukan dari Selly.

“Mm ... Pulang dulu, mau ambil baju sama buku, tugas banyak banget.”

“Mau aku bantuin?”

“Hello, kita beda jurusan keules.” Selly mengibaskan tangan ke samping.

Kiky tertawa, keinginan untuk selalu membantu gadis itu membuatnya lupa bahwa mereka mengambil jurusan berbeda.

“Aku temenin ke rumah sakit ya?” Lelaki itu menoleh sebentar ke arah gadis yang duduk di sampingnya.

“Ih gak usah.” Selly menggeleng berulang. “Kan, kamu mesti ke kafe.”

“Gak papa, itu bisa—”

“Ky,” Selly memotong kalimatnya, “udah terlalu banyak yang kamu lakuin buat aku, buat kami. Please, jangan bikin aku nganggep kalau kamu malaikat beneran,” jelas Selly panjang lebar. 

Kadang kebaikan yang Kiky berikan untuknya melebihi batas wajar. Selly tidak lupa bagaimana Kiky selalu membelanya dulu ketika dia dibully teman-teman SD. Selly juga merekam dengan jelas Kiky yang menawarkan pekerjaan padanya di saat Selly tengah bingung mencari kerja karena masih duduk di bangku SMA. Pun Selly tidak akan pernah melupakan bantuan Kiky mencarikan universitas terbaik yang membuka beasiswa full.

Lagi-lagi Kiky tertawa. Bersama Selly selalu sebahagia ini. Betapa dia rindu akan kebersamaan mereka yang sempat merenggang.

“Tapi, aku antar ya?” pinta lelaki itu.

“Aku yakin walaupun aku menolak kamu akan tetap memaksa.”

Kiky melebarkan senyum, lantas kembali fokus pada jalanan dengan perasaan berbunga.

***

Selly mengerutkan kening ketika melihat Kiky ikut turun dari mobil di pelataran rumah sakit. Seingatnya tadi dia sudah menolak tawaran lelaki itu untuk menemaninya.

“Loh, kok turun Ky?”

Kiky memutari bagian depan mobil, mendekati Selly. Berdiri canggung dengan sebelah tangan menyentuh tengkuk. Hal yang justru membuat kerutan di dahi Selly kian kentara.

“Kenapa Ky?”

Menelan ludah, Kiky berdehem lantas memasukkan tangannya ke saku celana. “Itu ... aku ... anu,” Kiky berdecak, demi apa dia jadi seperti anak TK yang akan mengaku bahwa dia pipis di celana. Kenapa berbicara saja menjadi sesulit ini. Mereka tumbuh bersama bahkan dari saat mereka belum puber, belum menjamah arti suka antar lawan jenis. Sudah jutaan kosa kata yang terlontar. Tapi kini, dia serupa bocah yang baru pertama masuk sekolah dan mengenalkan diri di depan kelas.

Lihat selengkapnya