Rasa panas seperti terbakar memenuhi dada Rey. Dia marah tapi juga tidak habis pikir dengan apa yang dia lihat dan dengar dari dua orang di depannya ini.
Sepuluh menit yang lalu, dia memasuki salah satu ruangan di dalam basecamp. Mendapati Bagas dan Alarik, salah satu tim IT duduk di depan meja panjang dengan tiga buah layar ultrawide di atasnya. Tempat biasa mereka bermain game.
“Ada temuan baru,” ucap Alarik, tanpa sapa dan salam.
“Maksud Lo?” Sebut saja Rey tidak punya sopan-santun terhadap pria yang lebih tua 5 tahun darinya itu. Dia sudah terbiasa, terlalu biasa. Menganggap lelaki yang hampir seumur hidupnya mengabdikan diri untuk keluarga Atmaja itu sebagai teman. Teman yang kelewat akrab dengan jaringan nir kabel tentunya.
“Kemarin sebelum ngelepasin Bendi, gue sempet naruh penyadap di ponselnya,” ucap Alarik yang duduk di depan salah satu layar yang menampilkan rekaman pesan Whatsapp.
Bendi adalah pemilik warnet di dekat kampus yang tempo hari diinterogasi oleh mereka karena foto yang dia sebarkan melalui blog itu. Hal yang menurut Rey terlalu bodoh karena Alarik dengan mudah menemukannya. Alhasil wajah Bendi bengkak dan membiru di beberapa titik karena tangan Rey tentu saja.
“Terus?” Rey menautkan alis.
Bagas berdecak, temannya itu boleh saja punya IQ selangit. Tapi kadang kepintarannya tertutup entah oleh apa. “Rey plis ya, otak lo yang katanya pinter itu dipakai! Gue jadi curiga, jangan-jangan hasil IPK kamu itu cuma fatamorgana.”
“Sembarangan lo ngomong, udah sih langsung aja, gue lagi mumet.” Bayangan Selly dan ibunya yang berada di rumah sakit menari-nari di kepala Rey. Berbagai spekulasi bermunculan tanpa diminta.
“Gue gak percaya aja sih, pas Bendi bilang, dia lagi iseng ngikutin Selly waktu itu. Gue ngrasa ada seseorang yang mungkin ada di belakangnya,” terang Alarik. Rey menyimak penjelasan itu dengan seksama.
“Gue gak disuruh siapa-siapa. Gue cuma iseng.”
Penjelasan Bendi malam itu ketika Rey dan Alarik menyambangi tempat tinggalnya memang sedikit aneh. Rey baru menyadarinya sekarang, waktu itu dia bahkan tidak menanyakan dia bekerja untuk siapa, tapi Bendi langsung mengatakannya sendiri.
“Jadi lo nemuin sesuatu?” Mata Rey memicing. Nama Irwan dan Jesica sempat mengusik pikirannya. Bagaimana pun dua orang itu yang paling heboh ketika skandal foto muncul.
“Nyaris tidak ada notifikasi khusus di ponsel Bendi, sampai semalam gue nemuin ini.” Alarik menunjuk layar datar itu, menggerakkan kursor pada sebuah screenshot bukti transfer dana. “Jumlah yang terlampau besar untuk sekedar gaji penjaga warnet atau gaji karyawan sekalipun.”
Rey menjulurkan kepala, Alarik benar dua puluh lima juta terlalu fantastis, kecuali ada proyek besar yang Bendi lakukan dan ketika matanya memindai nama si pengirim alisnya berkerut dalam. “Galuh Prameswari?”
Perkataan Bagas selanjutnya mampu membuat syaraf-syaraf di gendang telinga Rey berdenging, seolah baru saja menangkap gelombang ultrasonik. Seseorang yang menurut Rey sangat tidak mungkin melakukannya.
“Itu nama nyokapnya Kiky,” jelas Bagas, “dan Alarik sudah memastikannya.” Alarik mengangguk ketika Rey menatapnya meminta kepastian.