Melihatmu bersamanya membuatku mengerti satu hal, aku cemburu.
---
Lo gak penasaran dalang di balik penyebaran foto itu?
“Woi, ngelamun aja?!”
Selly terkesiap, jantungnya berdetak hebat. Mengurut dada berulang dia lakukan demi meredam rasa terkejut.
Antara tersenyum jahil di sebelahnya. “Tuh jus jeruknya udah ditungguin, ngelamun aja.”
Seakan baru tersadar akan sesuatu Selly buru-buru mematikan blender di depannya. Terlalu terbawa arus alam bawah sadar membuatnya lupa jika saat ini dia tengah bekerja.
Tadi pagi dia berpapasan dengan kembar Bagas dan Bagus. Lalu begitu saja mereka menghentikan langkah Selly dan membisikkan pertanyaan yang jujur saja tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Terlalu disibukkan dengan keadaan di kampus dan hal lain membuat Selly nyaris mengesampingkan kemungkinan itu. Dan sekarang, bayangan-bayangan jahat justru menghantui. Apa mungkin ada yang menjebaknya? Tapi siapa? Selly bahkan tidak punya musuh.
Dengan cekatan gadis itu menuang jus ke dalam gelas tinggi dan memberi potongan jeruk sebagai garnis di bibir gelas. Menaruh di baki bundar, lantas membawanya dengan satu tangan melewati lorong meja dan berhenti di pojok.
“Terima kasih,” ucap wanita dengan surai bergelombang, saat Selly meletakkan minuman pesanannya.
Ketika berbalik Selly menubruk tubuh seseorang. “Aduh! Maaf, ma—Rey?”
Selly tidak salah lihat, pemuda yang mengenakan kaus putih dilapisi kemeja yang tidak dikancing itu memang Rey Atmaja. Belum habis keterkejutan Selly ketika lelaki itu hanya mengangkat sebelah alis sebagai respon, kemudian melewatinya dan duduk di depan perempuan pemesan jus jeruk tadi.
Selly tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran sekaligus rasa kagetnya. Gadis itu terbengong, melihat Rey dan perempuan berparas ayu itu saling melempar salam.
“Green tea latte,” kata Rey, yang membuat Selly mengerjap beberapa kali sebelum sadar kalau lelaki itu memesan minuman padanya. Selly hampir lupa, dia pelayan di sini.
Siapa perempuan itu?
***
“Gadis sepolos itu gak mungkin kaya gitu Rey.”
“Tapi fotonya asli Len.”
Magdalena Lolita, perempuan berkulit putih dengan surai bergelombang itu adalah sepupu Rey. Seorang psikiater yang sudah mempunyai klinik sendiri. Rey meminta tolong pada Lena untuk menemui Selly, lebih tepatnya menilai gadis itu.
“Emang lo juga ada foto tentang kegiatan mereka di dalam kamar itu?” todong Lena yang mendapat gelengan lemah Rey.
Hati kecil Rey menyanggah kebenaran foto itu, tapi logikanya memaksa berpikir waras. Foto asli dengan pengakuan Selly apalagi yang perlu dicari. Kecuali tentang keterlibatan Kiky tentunya.
Obrolan mereka terjeda saat Selly membawa pesanan Rey, dan meletakkannya di hadapan lelaki itu. Susah payah Selly menahan diri agar bersikap seperti biasa, selayaknya pelayan yang menyediakan kebutuhan pelanggan. Tapi hati Selly tidak bisa berbohong, ketika cubitan rasa panas seperti terbakar menghampiri. Jantung Selly mengungkapkan dalam dentuman tak biasa. Pun jemari Selly yang sedikit gemetar.
“Mbak,” teguran Lena pada Selly nyaris membuatnya terlonjak dan membuang nampan di tangan. Pertanyaan perempuan itu selanjutnya mampu membuat jantung Selly berhenti sepersekian detik. “Kita cocok gak?”
Ucapan Lena seperti palu yang dihantamkan ke kepala Selly, membuat kaget, pusing dan sakit. Gadis yang memakai seragam biru dengan bordir nama kafe itu gelagapan. “Itu ... Anu ....” Dia melirik Lena, perempuan secantik itu sangat pantas dipilih, sepintas tidak ada kekurangan fisik yang Selly lihat. Setiap inci bagian tubuhnya meneriakkan kata glowing, amazing, dan sederet kata kekaguman lainnya. Lantas melalui sela bulu mata dia melihat lelaki itu, bukan salah Rey tentu saja. Tidak ada yang menjamin pemuda itu akan tetap bertahan kan? Kalau dirunut, justru dirinya lah yang patut jadi terdakwa. Selly yang telah menceburkan diri ke sumur keburukan. Menjadikan diri sebagai gadis nakal yang tertangkap kamera bermain dengan lelaki beristri. Dia sendiri yang mencegah kebenaran muncul. Lalu pantaskah dia bilang tidak suka?
Pada akhirnya Selly mengangguk. “Iya kalian serasi.”
Jawaban yang tidak sinkron dengan hati. Lidah Selly nyaris tergigit karena kalimat itu. Sensasi panas membakar memenuhi dada, sekaligus nyeri karena pukulan tak kasat mata. Selly sudah mempersiapkan hati untuk dibenci oleh pemuda itu. Tapi dia tidak pernah menyediakan tameng untuk menutupi rasa cemburu. Perasaan aneh yang membuatnya marah saat melihat Rey asyik bercengkrama dengan perempuan cantik itu.