Setelah membuatku tercebur begitu dalam, sekarang kamu memintaku untuk berhenti? Kamu lupa, aku juga pemeran utama di sini.
---
Rey kecil sangat menyukai serial kartun berjudul Jimmy Newtron. Bocah laki-laki dengan ukuran kepala lebih besar. Konon itu karena otaknya yang terlampau jenius. Seperti ilmuwan yang mampu membuat berbagai macam penemuan baru nan mutakhir.
Itulah sebabnya Rey menyukai laboratorium dan segala jenis percobaan di dalamnya. Otaknya sangat tanggap dengan rumus-rumus kimia dan teori atom. Dia terobsesi membuat terobosan baru, seperti membuat alat pembaca pikiran gadis di depan ini misalnya.
“Aku menolak.” Rey melepas genggaman tangan mungil di telapak tangannya yang besar.
Memalingkan wajah, Rey enggan tersentuh dan akhirnya mengalah. Karena wajah banjir air mata dengan hidung dan mata memerah itu menggoda Rey untuk menangkupnya, lantas membawa dalam dekapan. Lalu bagai tertiup mantra sihir, Rey akan berkata, “Baik, Tuan.”
Tidak. Rey tidak akan membiarkan semua ini mengambang begitu saja. Dia sudah terlanjur tercebur, setengah basah. Untuk apa dia naik ke permukaan jika tidak ada apa pun yang didapat. Malah bisa jadi rasa penasaran akan menderanya hingga akhir hayat. Biarlah dia tenggelam sekalian, sekali pun mati adalah risiko yang harus dia ambil, setidaknya dia mati dalam keadaan tenang.
Selly membulatkan mata, terkejut dengan penolakan Rey. Demi Tuhan, dia tidak ingin Rey lebih sakit lagi. Berbohong pada pemuda itu sangat sulit untuknya.
Menghapus jejak air mata di pipi dengan kedua tangan, Selly menilik penunjuk waktu di mobil, 17:14 terpampang di jam digital itu. Ibunya pasti sudah menunggu.
“Rey, plis,” ucap Selly dengan suara bindeng, “jangan bikin jadi makin rumit. Mengertilah aku, hm?”
Nah kan? Rey nyaris mengibarkan bendera putih demi mendengar nada memelas dari perempuan paling berpengaruh terhadap kerja jantungnya itu. Maka cara ampuh adalah menghindar, bersikap kepala batu, dan menulikan telinga.
Pemuda itu, membuka pintu di sampingnya, lantas turun. Membiarkan Selly meneriaki namanya dan mengejar masuk ke dalam rumah sakit.
“Rey, tunggu!”
“Rey!”
Mempercepat langkah, kaki jenjang Rey menapaki lantai lorong rumah sakit. Tidak perlu bertanya atau takut salah jalan, karena otaknya masih dengan tajam mengingat jalan menuju ruang Jasmine-052.
Seperti dejavu, Selly pernah merasakan perasaan ini. Jengkel sekaligus greget. Ingin menimpuk dan menggigit pemuda bernama Rey Atmaja. Lelaki itu entah kenapa berubah menjadi anak bandel lagi. Keras kepala. Dia tidak menggubris teriakan Selly yang sempat membuat beberapa orang melirik risih ke arahnya. Sebagian melotot, seolah memperingatkan Selly bahwa tempat yang dia pijak saat ini adalah tempat orang butuh ketenangan. Bukan pasar atau terminal, tempat orang bebas mengeluarkan suara lantang.