Sedan hitam metalik keluar dari tempat parkir Universitas Atmaja di saat raja siang bertakhta di singgasana tertinggi, memanggang jalanan hitam. Kepulan asap bercampur debu mengiringi kepergian mobil yang bermanuver dengan kecepatan di atas rata-rata. Pengendaranya seperti tidak peduli dengan klakson berbumbu makian dari pengguna jalan lain.
Satu jam sedan hitam itu membelah jalanan besar, menuju ke selatan kota. Bau khas laut mulai tercium terbawa angin yang semakin kencang. Pun suara deburan ombak samar terdengar. Mobil berbelok, melewati jalanan sempit berpasir, lantas berhenti di tepi pantai. Dua buah kapal nelayan sederhana bersandar di tepi, sedikit bergoyang tiap kali gelombang datang.
Seorang pria bertopi keluar dari salah satu kapal, sebatang rokok terjepit di sela bibirnya yang menghitam. Pria dengan jaket kulit dan celana jeans robek di dengkul itu menghampiri mobil. Lantas pria itu masuk ke dalam setelah membuang puntung rokoknya.
“Berapa kali gue bilang, jangan nelfon ke nomor gue yang itu!” omel Kiky setelah Bendi duduk di sampingnya. Lelaki itu sudah mewanti-wanti Bendi agar hanya menghubungi nomor khusus yang dia berikan. Tapi pria kurus itu membangkang.
Jantungnya nyaris copot saat mendengar suara Bendi melalui perangkat seluler ketika jam makan siang beberapa saat lalu. Terlebih saat itu dia sedang bersama Selly, tanpa pikir panjang lelaki itu pamit.
“Ngapain lo?” bisik Kiky tertahan setelah keluar dari kantin.
“Maaf Bos, saya kecopetan,” jawab Bendi.
“So?” Demi apa, harinya sudah buruk sejak kemarin ditambah beberapa saat lalu dia disuguhi pemandangan yang memuakkan. Lalu sekarang Bendi membawa masalah baru, membuat mood-nya kian jatuh ke dasar.
“Saya masih di kota Bos.”
“Shit!” Kiky tidak sungkan mengeluarkan makian itu. Berjalan gusar menuju tempat parkir kampus. “Di mana lo?”
Dan di sinilah Kiky sekarang bersana pria yang meneleponnya beberapa saat lalu.
“Maaf Bos, darurat soalnya.” Bendi menunduk dalam, kemarin dia sudah coba menelepon nomor itu tapi tidak kunjung mendapat jawaban.
Mendengus, Kiky lantas membuka laci, mengeluarkan amplop coklat yang menggembung.
“20 juta.” Kiky melempar amplop itu ke pangkuan Bendi. “Gila ya! lo mau meras gue?”
“Kemarin saya kecopetan Bos, jadi butuh modal lagi buat kabur.”
“Alesan!” Kiky melirik pantai di depannya yang tampak sepi. Pantai kecil yang tidak terjamah tangan-tangan usil, terbukti dari jernihnya air yang memantulkan warna langit.
“Udah lo pastiin gak ada yang ngikutin lo, kan?”
“Iya Bos, mereka gak tahu kok aku kabur ke sini.” Manik mata Bendi melirik sekilas ke arah kapal nelayan di tepi pantai itu.
“Bagus, kabur sana lo sejauh mungkin,” balas Kiky, kepalanya mengedik. “Jangan sampai Rey nemuin lo.”
“Memangnya kenapa kalau gue nemuin dia.”
Kiky melebarkan mata, terkejut dengan suara Rey yang menggema di dalam mobil. Melihat Bendi yang gemetaran, dia tahu ada yang salah di sini.