Sekali saja, izinkan aku serakah.
---
“Sel, pliss!” Kiky memohon entah untuk yang ke berapa kalinya, meminta pada Selly agar memberi kesempatan padanya untuk bicara.
Tapi seolah menganggapnya tak kasat mata, Selly tak sedikit pun membuka mulut. Gadis itu khusyuk menjelajah rak tinggi di depannya dengan mata dan jari telunjuk. Menyisir tiap judul buku, mengambil satu, membaca sebentar, lalu mengembalikannya lagi. Entah buku apa yang dia cari.
“Selly!”
Selly berdecak. “Ini di perpus Ky, tolong jangan berisik!” ucapnya lirih namun penuh penekanan.
“Kalau begitu ayo kita bicara di luar,” Kiky masih tidak mau menyerah.
“Gak boleh!”
Selly memejamkan mata mendengar suara seseorang yang sangat dia kenali. Demi apa, Rey muncul di sini? Dan lagi apa dia lupa kalau ini perpustakaan? Tempat di mana berbicara keras itu dilarang.
“Apaan lo nyambung aja?” hardik Kiky.
“Lo yang apaan,” timpal Rey, galak. “Masih punya harga diri lo nunjukkin diri di sini? Atau urat malu lo udah putus?”
Decak kekesalan juga peringatan terdengar dari pengunjung perpus. Membuat Selly memijit pangkal hidungnya yang mendadak berdenyut nyeri. Mengembalikan buku dengan kasar ke dalam rak semula, gadis itu berjalan keluar, diikuti dua lelaki itu di belakangnya.
“Gue akan tetap di sini jagain Selly.”
Rey mendengus, lalu mencibirkan bibir bawahnya. “Lo yakin Selly masih mau maafin lo?”
“Sel, kamu mau kan maafin aku, aku janji gak akan egois lagi.”
Selly berhenti di depan tangga, membuat kedua pemuda itu melakukan hal yang sama. Gadis itu berbalik, memandang mereka bergantian. Apa yang telah dilewatkannya di sini?
“Sel, please!” Kiky menangkupkan tangan di depan dada. “Maafin aku, ya?”
“Udah dibilangin Selly gak akan maafin lo,” serobot Rey.
“Aku akan maafin kamu,” jawaban Selly membuat keduanya melebarkan mata.
“Tapi Sel, dia—”
“Hanya jika kamu tidak menemuiku lagi.”
Protes dari Rey terhenti saat mendengar penuturan Selly, berganti senyum kelegaan.
“Tapi Selly—”
“Ky, please!” mengangkat tangan, Selly menghentikan ucapan Kiky. Sekali lagi menekankan bahwa dia tidak ingin berhubungan lagi dengannya.
“Dan kamu, Rey.” Selly menatap Rey. “Kita perlu bicara.”
Senyum merekah dari bibir Rey, mengangguk dua kali dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang ditawari es krim. Dia melambai pada Kiky dengan gaya hiperbolis, sebelum mengikuti jejak Selly. Bukankah dia menang kali ini?
Mereka berjalan menaiki tangga, menyusuri koridor sejauh 5 meter, lalu berbelok ke belakang sebuah ruangan. Bersandar pada birai balkon, Selly menatap Rey yang menghadiahinya senyum secerah mentari siang itu.
“Apa yang kamu ketahui?” todong Selly. Obrolan mereka beberapa saat lalu dengan Kiky mengindikasikan bahwa lelaki itu tahu sesuatu.
“Apa? Maksudmu soal ...,” Rey menjeda kalimatnya, enggan melanjutkan, “Kiky?”
Mengangguk, Selly mengamini pertanyaan Rey. “Kamu sudah tahu?”