Aku ingin kembali ke masa itu, di saat hanya perlu menangis ketika mengompol, di saat hanya harus mengeluarkan air mata ketika menginginkan sesuatu.
---
Gemericik suara air yang mengalir melalui keran mendominasi ruang dapur rumah kontrakan Selly. Gadis itu mencuci peralatan makan malam mereka dengan telaten. Menumpuknya di rak samping bak cuci piring, lantas mengeringkan tangan dengan lap yang tergantung di pintu kulkas.
Selly berjalan menghampiri ibunya yang masih duduk di karpet ruang tamu. “Ibu gak capek seharian ngejahit?”
Dita tersenyum. “Nanggung, Sayang, sebentar lagi, ya.”
Tidak ada tanggapan dari Selly, gadis itu hanya menatap selembar baju setengah jadi di pangkuan ibunya dengan pandangan kosong. Membuat Dita mengalihkan perhatiannya.
“Kenapa, Nak? Ada masalah?”
Selly berkedip, lalu beralih menatap Dita. “Ibu ... masih nyaman tinggal di sini?”
Dita terhenyak, satu pertanyaan itu adalah tanda, sebuah isyarat bahwa mereka mungkin harus pindah. Kembali mencari tempat tinggal baru dan memulai lagi hidup baru. Mereka sudah sangat hafal, tidak perlu penjelasan panjang lebar. Karena hidup nomaden sudah menjadi kebiasaan.
“Kapan, Nak? Ibu akan mempersiapkan segalanya.” Serak dalam suara Dita sudah cukup menggambarkan keadaan hati, menyalurkan hal yang sama pada Selly. Pelupuk mata gadis itu mengembun, mulai memerah di sekitar pupilnya.
Tangan Dita terulur, menyentuh sebelah pipi Selly. Lalu keduanya saling menubruk, berbagi bahasa hati lewat sebuah pelukan. Selly terisak di pundak ibunya. Air mata membanjir, mengaliri pipi hingga dagu, dan jatuh membasahi baju ibunya.
“Maafin Selly, Bu,” ujarnya disela tangis.
Dita menggeleng. “Bukan salah kamu Nak, bukan.”
“Harusnya Selly dengerin kata Ibu.” Susah payah gadis itu mengeluarkan suara, berlomba dengan isak. “Harusnya, Sel-ly gak usah jatu-h cin-ta.”
“Sshh ....” Dita mengurai pelukan, menatap lekat putrinya yang bersimbah air mata. “Jatuh cinta itu gak salah, Nak, yang perlu dibenahi adalah bagaimana kita menyikapinya.”
“Tapi Selly salah, Bu.” Selly menekan dada dengan kepalan tangan, merasakan sesak yang kian dalam. “Gak seharusnya Selly menyukai Rey, gak seharusnya Selly berhubungan dengan dia.”