Pernah ada harap untuk dia yang harusnya kupanggil ayah.
---
Flashback.
Dita mengidap tumor rahim dan harus di operasi.
Informasi itu, terputar di dalam kepala Selly, terngiang-ngiang di telinga serupa kaset rusak yang dipaksa masuk ke dalam DVD.
Ibunya sakit.
Ibu harus dioperasi.
Ibu butuh biaya.
Yang ada di pikiran Selly adalah bagaimana mendapat uang secepatnya.
Lalu sebuah nama tercetus begitu saja. Nama seseorang yang harusnya juga bertanggung jawab pada kondisi Dita, bahkan juga dirinya. Prasetya Wisnudarma, artis senior merangkap anggota legislatif.
Berbekal selembar foto dan sebuah alamat email, Selly merancang aksi nekatnya. Sebutlah dia jahat, mengambil jalan pintas demi mendapat uang. Mengancam akan menyebar foto mesra Prasetya dan Dita ke publik, jika lelaki itu tidak membalas emailnya. Tapi sekali-kali lelaki seperti Prasetya Wisnudarma juga perlu diberi pelajaran. Agar dia tahu rasa takut. Supaya lelaki yang terlihat sangat terhormat dan terpelajar itu sedikit menoleh pada masa lalu.
Tak butuh waktu lama, email yang Selly kirimkan segera berbalas. Meminta mereka bertemu dan menegosiasikan harga. Tanpa pikir panjang, Selly menyanggupi bertemu di salah satu hotel kelas bawah di pinggiran kota.
Seorang ajudan bernama Topan ditugasi untuk menjemput Selly di loby hotel, lalu membawanya memasuki kamar yang telah dibooking.
“Di mana, Pak Prasetya?” tanya Selly ketika tidak ada siapa pun di dalam kamar itu.
“Sebentar lagi Beliau datang,” jawab Topan, sambil melihat arlojinya.